Bamsoet: Kita Harus Katakan ‘Selamat Tinggal Politik Identitas’

Metrobatam, Jakarta – Ketua DPR Bambang Soesatyo menyinggung soal politik identitas di sidang bersama DPR-DPD RI. Ia mengimbau seluruh warga negara meninggalkan politik identitas, yang identik dengan permasalahan SARA.

“Kita tidak boleh membiarkan berkembangnya politik identitas yang dapat menyulut permusuhan serta mengancam persatuan dan keutuhan bangsa. Bayangkan, karena berbeda haluan politik, tokoh agama acap kali dihujat,” ujar Bamsoet saat menyampaikan pidato di gedung Nusantara, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/8).

“Petinggi partai politik dicaci-maki. Presiden dan lembaga-lembaga negara sebagai simbol kedaulatan negara dilecehkan. Mereka dianggap tak mampu. Program pemerintah dianggap nihil. Perbedaan politik dikutuk,” imbuhnya.

Bamsoet juga menyoroti kritik-kritik yang dilontarkan kepada pihak lawan. Menurut dia, banyak kritik tersebut yang sudah melebihi batas kewajaran.

Bacaan Lainnya

“Kritik berubah menjadi pembunuhan karakter yang kejam. Fondasi berbangsa digoyang dengan isu SARA. Ditambah lewat strategi politisasi agama yang berakibat menguatnya politik identitas,” ujar Bamsoet.

Bila hal ini terus berlanjut, kebinekaan Indonesia disebutnya bisa terancam bahaya. Bamsoet mengatakan semua orang saat ini cenderung menyatakan diri merasa paling benar.

“Kerukunan umat beragama justru dianggap tabu. Akal sehat dianggap nista. Karena itu, sudah saatnya, kita harus berani mengatakan secara tegas: Selamat tinggal politik identitas. Mari kita perkuat kembali sendi-sendi politik kebangsaan, yang memberi ruang dan penghormatan terhadap kebinekaan. Yang menyuburkan kedamaian dan kebersamaan,” papar politikus Golkar itu.

“Sehingga semua warga bangsa merasa nyaman, hidup rukun, dan bahagia dalam rumah besar Pancasila,” sambung Bamsoet.

Tinggalkan Isu SARA

Ketua Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Albertus Patty mengatakan, ketegangan antar umat beragama akan terasa saat musim politik datang, saat itulah isu identitas menjadi “mainan” para politisi nakal demi meraup suara sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan akibatnya.

“Biasanya ketegangan antar agama suhunya meninggi saat mendekati Pilkada atau Pemilu. Jadi, hampir dipastikan berhubungan dengan kepentingan politik para elite yang dengan sengaja memainkan isu agama dan melakukan instrumentalisasi agama demi nafsu kekuasaan,” bebernya.

Albertus menekankan, dirinya tidak melarang bahwa persoalan agama tidak boleh dibawa ke dalam dunia politik, namun Albertus meminta dalam persoalan politik agama harus menjadi pesan-pesan yang sejuk dan damai.

“Bukan interpretasi agama dengan pesan yang diskriminatif dan memecah-belah. Selain itu, agama-agama sendiri perlu menciptakan langkah-langkah nyata bersama dalam memerangi ketidakadilan dan kemiskinan,” lanjutnya.

Oleh sebab itu, demi menekan adanya permainan isu SARA yang selalu menjadi mainan para oknum politisi, Albertus menyarankan agar para tokoh masyarakat mengelar pertemuan terbuka antar umat beragama atau dengan kata lain silaturrahmi secara rutin.

“Upaya untuk mempererat kasih dan cinta antar sesama harus terus dilakukan melalui perjumpaan-perjumpaan dan kerjasama langsung. Banyak kebencian muncul karena setiap kelompok tahu tentang kelompok lainnya,” ungkapnya.

Menurut Albertus dengan cara inilah mampu untuk menghindari “jebakan” permainan para oknum politisi bahkan akan lebih mudah mendeteksin faham radikalisme yang dapat meretakan bingkai persatuan dan kesatuan.

“Hanya melalui cerita atau khotbah dalam Perjumpaan-perjumpaan dapat mendeteksi faham radikal, dan jadikan perbedaan itu untuk saling memperkaya dan saling melengkapi dalam soludaritas demi kemajuan, perdamaian dan keadilan yang dinikmati semua,” tutupnya. (mb/detik/okezone)

Pos terkait