Pengeluh Volume Azan yang Terlalu Keras Dibui 18 Bulan, Bagaimana Perusak Vihara?

Metrobatam, Asahan – Meiliana dihukum 18 bulan penjara karena mengeluhkan volume azan yang terlalu keras. Keluhan Meiliana itu dinilai sebagai penistaan agama Islam. Sebagai balasannya, vihara dibakar.

Kasus itu terjadi pada 2016 silam. Kala itu, keluhan Meiliana sampai ke pengurus masjid di Tanjungbalai, Sumut. Warga sekitar tidak terima dan merasa agamanya dinista. Sebagai balasannya, tempat ibadah vihara dibakar dan dirusak massa.

Setelah melalui proses hukum, berikut hukuman ke perusak vihara sebagaimana dirangkum dari wesbite Mahkamah Agung (MA), Kamis (23/8):

  • Abdul Rizal dihukum 1 bulan 16 hari.
  • Restu dihukum 1 bulan dan 15 hari.
  • M Hidayat Lubis dihukum 1 bulan dan 18 hari.
  • Muhammad Ilham dihukum 1 bulan dan 15 hari.
  • Zainul Fahri dihukum 1 bulan dan 15 hari.
  • M Azmadi Syuri dihukum pidana 1 bulan dan 11 hari.
  • Heri Kuswari dihukum 1 bulan dan 17 hari (kena pasal kasus pencurian).
  • Zakaria Siregar dengan pidana 2 bulan dan 18 hari.

Hukuman kepada delapan nama di atas diketok PN Tanjungbalai pada 23 Januari 2017. Sedangkan Meiliana dihukum 18 bulan penjara oleh PN Medan pada 21 Agustus 2018.

Bacaan Lainnya

Vonis 18 bulan bui terhadap Meiliana dinilai mengoyak toleransi di Indonesia. Lebih dari 15 ribu orang menandatangani petisi yang ditujukan ke Presiden Joko Widodo itu.

“Apa yang diperbuat oleh Meiliana tidak bisa dikategorikan sebagai penistaan agama, dia hanya meminta volume suara adzan dikecilkan, itu pun tidak langsung disampaikan kepada masjidnya, tapi dia hanya bicara kepada tetangga di sekitar rumahnya. Itu permintaan biasa yang disampaikan dengan santun,” ujar Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos seperti dikutip dalam petisi change.org, Kamis (23/8).

Petisi tersebut dibuat oleh Anita Lukito dan ditujukan kepada Presiden Jokowi, Kementerian Agama, Mahkamah Agung, dan Dewan Masjid Indonesia. Hingga pukul 10.30 WIB petisi itu telah ditandatangani 15,330 orang.

“Seluruh penduduk Indonesia memiliki hak yang sama. Di mana letak keadilan apabila perkara yang jelas bukan tindak kriminal, serta dapat diselesaikan dengan asas kekeluargaan dan toleransi, yang dianut oleh Bangsa Indonesia, malah diputarbalikkan dan mengancam hak asasi seseorang. Vonis ini tidak dapat dibiarkan seenaknya, sementara Pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk menjamin hak setiap penduduknya, tak hanya sebuah golongan tertentu saja,” tulisnya.

Tidak ketinggalan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) membela Meiliana. Menurutnya, permasalahan seperti itu seharusnya bisa dibicarakan lewat musyawarah.

“Bukan semata soal kasus Meiliana. Ini soal masa depan Indonesia yang majemuk, yang saat ini nyesek karena kasus Meiliana,” ujar Cak Imin lewat akun Twitternya, Kamis (23/8).

Itu merupakan cuitan pertama Cak Imin setelah akun Twitternya di-suspend. Cak Imin ikut menyuarakan agar Meiliana dibebaskan setelah divonis sebagai penista agama.

“#BebaskanMeiliana. Ayo biasakan mengatasi semua masalah dengan musyawarah,” tutur Wakil Ketua MPR itu.

Komisi VIII DPR RI yang membidangi agama menilai protes Meiliana bukan bentuk penistaan agama. Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid, protes tersebut bisa dicarikan jalan keluar tanpa melalui jalur pengadilan.

“Kalau benar kasusnya mengeluhkan volume suara azan, bukan penistaan agama. Dan itu diselesaikannya bukan di pengadilan, tapi melalui musyawarah RT, RW atau tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat untuk saling menghargai dan saling memahami,” kata Sodik saat dimintai tanggapan detikcom, Rabu (22/8).

Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas juga menilai hal yang sama. Menurutnya menyatakan suara azan terlalu keras bukan penistaan agama.

“Mengatakan suara azan terlalu keras menurut pendapat saya bukan penistaan agama. Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat,” ujar Robikin dalam keterangannya, Rabu (22/8).

Sementara itu Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad berpendapat seharusnya hukuman untuk Meiliana bisa lebih ringan. Dia mengatakan, dalam demokrasi siapapun berhak mengeluarkan pendapat.

“Masyarakat kita sebaiknya memang dibiasakan, perbedaan pendapat itu dibiasakan. Inilah perlunya pendidikan yang berkualitas yang mengatakan bahwa kita hidup ini tidak hanya golongan kita saja, kelompok kita saja, ada orang lain yang perlu kita hargai. Oleh karena itu, menurut saya, hukumannya jangan terlalu berat seperti itu,” papar Dadang. (mb/detik)

Pos terkait