Firna, Putri Pemulung Diwisuda dengan Predikat “Cum Laude”

Metrobatam, Semarang – Firna Larasanti tampak cekatan memilah botol-botol plastik, di antara tumpukan barang rongsokan di rumahnya, RT 06 RW 01 Karanggeneng, Kelurahan Sumurrejo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Selasa (26/7). Botol-botol bekas itu dikumpulkannya dalam karung yang sudah disiapkan.

Putri pasangan pemulung, Misiyanto (57) dan Siti Suswanti (46), bakal menjadi sarjana pada hari ini dengan predikat cum laude. Hari ini, Rabu (26/7), Firna akan mengikuti upacara wisuda sarjana di kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes).

Putri kedua dari tiga bersaudara itu hanya memerlukan waktu 3 tahun 10 bulan untuk meraih gelar sarjana Ilmu Politik Unnes dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,77.

Penulis menulis skripsi “Marketing Politik Pasangan Calon Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan Hevearita Gunaryanti” itu juga pernah menjadi juara I lomba penulisan tentang otonomi daerah tingkat Provinsi Jawa Tengah.

Bacaan Lainnya

“Saya masuk Unnes tahun 2012 lalu lewat seleksi mandiri. Pada semester pertama sempat kuliah dengan biaya sendiri, baru semester kedua mendapatkan beasiswa,” kata Firna kepada Tribun Jateng.

Dengan pendapatan orangtua yang bekerja serabutan dan penghasilan tidak menentu, ia mencoba membiayai kuliahnya dengan keringat sendiri. Sesekali ayahnya Misiyanto bekerja sebagai buruh bangunan. Namun, Misiyanto lebih banyak menghabiskan waktu memulung. Suswanti, ibu Firna, kerap menjadi buruh cuci atau membantu suaminya memulung.

“Saya pernah memungut cengkeh di perkebunan, jaga warung orang di pasar, hingga mengajar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini),” ujar Firna.

Setelah menjadi mahasiswa ilmu politik, Firna merasa pekerjaan sambilannya kurang mendukung bidang studinya.
“Akhirnya saya pilih menulis, beberapa pekerjaan menulis lepas di Provinsi (Pemprov Jateng), DPRD pernah saya lakukan, kompetisi menulis juga saya ikuti, hasilnya lumayan membantu mencukupi biaya kuliah,” kata dia.

Semua cara ia lakukan untuk mendapat tambahan yang demi merampungkan kuliahnya. Firna merasa beruntung mendapat beasiswa Bidikmisi. Namun, itu saja belum cukup memenuhi kebutuhan pendidikannya.

“Bidikmisi biaya pendidikan alhamdulilah digratiskan semua, per bulan juga mendapat uang saku Rp 600.000. Namun, terkadang pembiayaan kuliah lebih (dari itu), terutama saat skripsi,” ujarnya.
Untuk mencukupi kebutuhan itu, Firna membantu memulung, memunguti cengkeh, berjualan di pasar, mengajar PAUD, hingga akhirnya menulis.

Ingin Jadi Dosen
Setelah lulus nanti, ia bermimpi untuk bisa melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana. Ada dua universitas yang diimpikannya, salah satunya adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Cita-citanya ingin menjadi dosen.
“Awalnya saya ingin jadi guru, tapi ketika masuk PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) Unnes sempat gagal, makanya sekarang ingin jadi dosen sebagai ganti tidak bisa jadi guru,” kata dia.

Ibu Firna, Suswanti, mengatakan bhawa pendapatannya bersama sang suami tidak pasti. “Ada uang Rp 50.000 ya langsung kami pakai untuk kebutuhan, jadi enggak pernah dihitung sampai sebulan,” kata Suswanti sambil memasukkan botol ke dalam keranjang di depan rumahnya yang berdinding kayu dan multipleks.

Keterbatasan itu tidak membendung keinginan Suswanti dan suaminya untuk memeberikan pendidikan terbaik bagi putra-putri mereka. Tiga anak mereka saat ini menimba ilmu di bangku kuliah.

Latifah Mulyo (25), putra pertamanya, tengah menempuh pendidikan S1 di sebuah universitas swasta di Semarang. Firna sudah akan diwisuda Unnes. Sementara si bungsu, Fatihatul Rizky, saat ini masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
“Walaupun saya hanya lulus SD dan suami saya tidak tamat SD, namun kami berdua sepakat ingin anak-anak harus mengenyam pendidikan tinggi. Jadi apa pun harus diusahakan, alhamdulilah anak-anak juga dapat beasiswa,” kata Suswanti.

Ia merasa beruntung karena anak-anaknya begitu gigih menempuh pendidikan, mencari beasiswa, hingga pendapatan tambahan. Putra pertamanya, Latifah, selain berkuliah juga menjadi seorang tukang kebun untuk menutup biaya kuliahnya.
Suswanti mengatakan, ketika masih kecil, anak-anaknya diajak memulung sampah. Mereka seringkali mengeluh karena tidak sempat tidur siang dan harus membantu mengumpulkan botol bekas.

“Saya dalam hati nangis tapi saya jawab, makanya harus sekolah yang tinggi biar nanti enggak terus-terusan memulung,” ucap Suswanti terbata.(mb/kompas)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *