‘Hantu Khilafah’ Pasca Pembubaran HTI

Metrobatam, Jakarta – Bermodalkan Perppu No.2 tentang Organisasi Kemasyakaratan, pemerintah Indonesia mencabut badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia. Langkah yang secara efektif membuat Indonesia menjadi negara ke-17 yang melarang kehadiran Hizbut Tahrir.

Lewat Perppu itu, Indonesia mengikuti jejak negara-negara seperti Mesir, Yordania, Rusia, Jerman, Pakistan, hingga Malaysia yang telah lebih dulu membubarkan Hizbut Tahrir.

Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sudarno Shobron mengatakan, negara-negara yang menolak Hizbut Tahrir memiliki alasan seragam karena pada umumnya menilai visi dan misi yang dijalankan Hizbut Tahrir dapat mengancam keutuhan negara.

Dalam artikelnya berjudul Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia (2014), Sudarno menyatakan Hizbut Tahrir mengusung visi menegakkan Negara Islam berbasis khilafah atau khilafah islamiyah. Visi tersebut diusung sejak HTI didirikan pada 1953, di Palestina, oleh Taqiyuddin an-Nabhani.

Bacaan Lainnya

Tetapi membubarkan organisasi tak sama dengan upaya menghapus paham yang dianggap pemerintah sebagai ajaran radikal. Menghapus paham ini adalah tugas lanjutan dari langkah awal pembubaran, yang jelas jauh lebih sulit.

Dalam konteks pembubaran HTI, tantangan sesungguhnya dari pemerintah Indonesia adalah memastikan ideologi khilafah ikut terkubur seiring pembubaran organisasi tersebut.

Itu tugas yang sangat berat. Di beberapa negara, anggota dan simpatisan Hizbut Tahrir faktanya tetap bertahan dan memegang teguh visinya meski telah dilarang berkegiatan.

Di Kirgistan, Kazakstan, dan Tajikistan, eks anggota Hizbut Tahrir itu melanjutkan perjuangan mereka secara terselubung meski telah dinyatakan ilegal.

“Hizbut Tahrir mengisi ruang kosong dan menjadi saluran perlawanan masyarakat dan kelompok-kelompok etnis tertentu yang miskin dan tertindas,” tulis Mohammad Iqbal Ahnaf, dalam artikelnya berjudul Setelah HTI Dibubarkan: Konsistensi atau Kompromi? yang dipublikasikan di situs Pusat Studi Lintas Agama dan Budaya Universitas Gajah Mada.

Pergerakan Eks HTI

Apa yang dialami Kirgistan, Tajikistan, dan Kazakstan bisa saja terjadi di Indonesia. Apalagi jika Mahkamah Konstitusi menolak berkas judicial review yang diajukan HTI terhadap Perppu Ormas.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno memperkirakan para eks anggota HTI akan membentuk ormas baru demi mempertahankan pandangan khilafah islamiyah yang selama ini telah disemai.

Hal tersebut, menurut Adi, adalah strategi yang paling realistis mengingat HTI telah memiliki struktur organisasi yang cukup rapi dari pusat hingga ke daerah.

“Enggak gampang bagi mereka untuk bubar begitu saja. Mereka menganggap yang dibubarkan adalah rumah mereka. Tetapi bukan struktur yang mereka bangun secara emosional dengan cukup lama. Tinggal bikin wadah baru,” tutur Adi kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (22/7).

Pembentukan ormas baru sangat mungkin dilakukan karena meski telah dicap sebagai organisasi ilegal, namun para kader atau simpatisan HTI tetap berhak untuk kembali berkumpul dan berserikat dengan payung organisasi lain.

Adi mengatakan, eks HTI bisa saja membentuk struktur organisasi ‘mainan’ yang diisi oleh orang-orang yang belum dikenal khalayak luas.

Pimpinan lama seperti juru bicara HTI Ismail Yusanto dan ketua DPP HTI Rokhmat S. Labib kemungkinan lenyap dalam struktur organisasi yang baru demi melunturkan kecurigaan pemerintah terhadapnya.

Peran mereka pada akhirnya akan lebih banyak di belakang layar. “Dari segi nama, mungkin mereka membuat nama yang lebih keindonesiaan,” tutur Adi.

Loncat ke Partai Politik

Bukan tidak mungkin eks anggota HTI bergabung dengan partai politik apabila gagal mempertahankan ideologinya lewat ormas baru. Adi menyatakan itu mungkin terjadi mengingat partai politik cenderung memiliki pandangan pragmatis atau tidak menganggap penting identitas dan agama suatu kelompok.

Selama dapat memberi keuntungan elektoral, menurut Adi, partai akan bersedia menampung suatu kelompok tanpa peduli rekam jejak kelompok tersebut.

“Misalnya jemaat Ahmadiyah dan Syiah dianggap kontroversi. Bagi partai politik itu enggak penting. Yang penting saat pemilu mereka mendapat suara,” ujar Adi.

Adi menjelaskan, salah satu alasan eks HTI tidak keberatan bergabung dengan partai politik adalah karena tidak mudah untuk menyudahi perjuangannya selama ini. Jumlah pengikutnya pun sudah ribuan dengan struktur organisasi yang cukup rapi.

Meski demikian, lanjut Adi, eks HTI mustahil langsung melakukan pengubahan visi dan misi partai politik yang baru dihuninya.

Eks HTI tentu beradaptasi terlebih dahulu dengan partai politik yang baru saja memberi tumpangan hidup. Baik itu visi, misi, hingga kegiatan-kegiatan harian yang dilakukan. “Suatu ketika, kalau sudah kuat, mereka akan merebut tampuk kepemimpinan partai,” kata Adi.

Strategi menunggangi partai politik juga disebut lebih aman. Pasalnya, lewat kendaraan partai, cita-cita anggota HTI untuk mendirikan negara islam dapat disalurkan secara konstitusional.

Atas kemungkinan strategi tersebut, Adi menyebut hal itu akan membuat pemerintah semakin kesulitan untuk bertindak.

“Karena partai politik ini kan sudah absah. Diakui dalam undang-undang, diatur dalam undang-undang pemilu, dan pelaksanaan demokrasi elektoral kita,” ujarnya.

Saat ini baru Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terang-terangan menyatakan bersedia menampung eks kader HTI. Ketua Umum PPP, Romahurmuziy menyatakan hal tersebut di sela-sela Musyawarah Kerja Nasional di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Jumat (21/7).

Di sisi lain, Adi menyarankan agar partai politik tidak begitu saja membuka pintu kepada orang-orang yang memiliki pemikiran radikal. Demi mencegah hal-hal terburuk terjadi, menurut Adi, alangkah baiknya jika partai politik melakukan penyaringan yang ketat dalam merekrut anggota.

“Jangan sampai HTI ini masuk ke dalam partai politik untuk memperkuat diri lalu menerapkan pemikiran khilafah islamiyah secara lebih masif,” kata Adi.(mb/cnn indonesia)

Pos terkait