Ini 5 Alasan MK Izinkan Perempuan Jadi Gubernur Yogyakarta

Metrobatam, Jakarta – Yogyakarta tidak mengenal Pilgub, tetapi Sultan Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur. Sepanjang sejarah Keraton Yogyakarta, seluruh Sultan adalah laki-laki. Tapi pada penghujung Agusutus 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan izin, jenis kelamin apa pun bisa menjadi Gubernur DIY, baik laki-laki maupun perempuan.

MK menghapus syarat calon Gubernur Yogyakarta, yang menyaratkan daftar riwayat hidup calon yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Berikut alasan MK dalam menafsirkan UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dirangkum dari putusan MK, Senin (4/9)

1. Alasan Normatif

Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, negara menegaskan mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.

Bacaan Lainnya

2. Alasan Sejarah

Secara garis besarnya, diberikannya status ‘daerah istimewa’ kepada Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang sekarang dinamakan Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah karena peran dan sumbangsih Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana telah menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat secara sukarela menyatakan bergabung dan menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia meskipun pada saat itu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat telah memiliki wilayah, penduduk, dan pemerintahannya sendiri.

Pernyataan berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dituangkan ke dalam Maklumat bertanggal 5 September 1945, masing-masing ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII, yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia bertanggal 6 September 1945 yang sekaligus menyatakan status integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai daerah istimewa.

3. Yogyakarta Istimewa

Pemberian status ‘Istimewa’ kepada Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, pada masa awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia secara sukarela menyatakan diri bergabung atau berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Artinya, Sultan yang bertahta di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bukan ‘pemberian’ atau dibentuk oleh Negara (in casu Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sebaliknya, justru karena tindakan sukarela yang bertakhta pada saat itulah sehingga menyebabkan daerah yang sekarang kita kenal sebagai Daerah

Istimewa Yogyakarta ini menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Dengan kata lain, andaikata setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat saat itu tidak secara sukarela menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia maka daerah yang sekarang kita kenal sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta dengan sendirinya belum tentu merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar MK.

4. UU Indonesia Tidak Bisa Turut Campur Kedaulatan Keraton

Secara historis maupun yuridis Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat lebih dahulu ada dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, hukum yang berlaku dalam menentukan siapa yang berhak dinobatkan sebagai Sultan di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah hukum yang berlaku di internal keraton Kasultanan dan di internal Kadipaten.

“Negara (yang direpresentasikan oleh Undang-Undang, in casu UU KDIY) tidak memiliki landasan argumentasi konstitusional logis maupun historis untuk turut serta menentukan siapa yang berhak dinobatkan sebagai Sultan yang bertakhta di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,” kata Ketua MK Arief Hidayat.

5. UU 13/2012 Bersifat Diskriminatif

Sebagai negara pihak (state party) maka sudah tentu terdapat kewajiban yang didasarkan pada hukum internasional (international legal obligation) bagi Indonesia untuk menaati ketentuan dalam hukum internasional dimaksud, khususnya dalam hal ini pentaatan terhadap larangan diskriminasi.

Oleh karena itu, Mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya bahwa diskriminasi adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan sekaligus bertentangan pula dengan hukum internasional (vide lebih jauh, antara lain, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 028-029/PUU- IV/2006).

Dalam rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY secara a contrario terkandung pengertian bahwa pihak-pihak yang statusnya tidak memenuhi kualifikasi dalam norma a quo tidak dimungkinkan untuk menjadi calon Gubernur atau calon Wakil Gubernur di DIY, yang di dalamnya termasuk perempuan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Dengan kata lain, Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY telah membatasi hak politik pihak-pihak tersebut untuk menjadi calon Gubernur atau calon Wakil Gubernur DIY, khususnya dalam hal ini perempuan.(mb/detik)

Pos terkait