Sengkarut ‘Senjata Ilegal’, Cendekiawan Muslim: Apa Untungnya Gaduh Begini

Metrobatam, Yogyakarta – Cendekiawan Muslim, Komaruddin Hidayat, mengatakan perbedaan pendapat antarlembaga Pemerintah terkait isu penyelundupan 5 ribu senjata adalah bahasa elit. Semestinya para elit segera mengerem polemik, agar tidak membuat bingung rakyat.

“Itu bahasa elit kok, bahasa politik. Tidak menyangkut kepentingan orang banyak. Wacana itu harus kita bedakan, mana wacana yang nadanya elitis, politis, dan mana yang menyangkut orang banyak,” kata Komaruddin, saat ditemui detikcom sesuai mengisi kuliah umum Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (25/9).

Menyikapi kegaduhan yang terlanjur terjadi di masyarakat, menurut Komaruddin, para elit politik harus mendinginkan suasana. Bukan justru para elit memperuncing keadaan, apalagi isu penyelundupan senjata ini sudah menggelinding dan dikonsumsi publik.

“Semestinya para elit itu dalam batas tertentu harus ngerem. Jangan sampai kemudian masyarakat dibuat bingung oleh hal yang tidak produktif. Apa sih untungnya gaduh seperti sekarang ini?” papar mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Bacaan Lainnya

Meski begitu, Komaruddin menerangkan kegaduhan di negara yang menganut sistem demokrasi terbuka seperti Indonesia adalah hal yang wajar. Untuk menyelesaikan kegaduhan ini, menurutnya pemerintah cukup merujuk mekanisme pengadaan senjata sesuai undang-undang.

“Kalau tidak salah Pak Wiranto sudah mengklarifikasi, Kapolri juga sudah. Biarin saja,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, isu penyelundupan 5.000 senjata pertama kali mencuat saat Panglima TNI, Jenderal (TNI) Gatot Nurmantyo, mengadakan pertemuan internal dan bukan untuk dipublikasikan. Namun isu ini akhirnya menggelinding bebas ke ranah publik.

Menanggapi isu tersebut Menkopolhukam Wiranto menyampaikan, apa yang diutarakan Gatot bermula dari miskomunikasi antarlembaga. Menurutnya, isu tersebut sebenarnya hanya pembelian 500 pucuk senjata buatan Pindad untuk sekolah intelijen BIN.

Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, sebelumnya juga mengaku akan membeli 5 ribu unit senjata api jenis pistol bikinan PT Pindad. Pistol itu nantinya untuk kelengkapan polisi lalu lintas (Polantas) dan anggota Sabhara yang kerap menjadi sasaran serangan teroris.

DPR akan Panggil Panglima dan BIN

Sementara itu Komisi I DPR, yang membidangi pertahanan dan intelijen, berencana menanyakan kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Badan Intelijen Negara (BIN) mengenai isu pembelian 5.000 senjata ilegal. Panglima dan BIN akan dipanggil dalam waktu yang berbeda.

“Oleh karena itu, Komisi I berencana memanggil Panglima TNI dan BIN dalam forum yang berbeda, karena kalau disamakan nanti membenturkan,” ujar anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (25/9).

Politikus NasDem itu enggan mengomentari pernyataan Jenderal Gatot dalam rekaman audio yang beredar merupakan manuver politik. Menurutnya, urusan tersebut bukan koridor Komisi I.

“Silakan saja ditafsirkan begitu, tapi saya tidak dalam kapasitas mengomentari urusan politik atau bukan. Saya profesional saja dalam bidang Komisi I DPR dan Komisi I tidak dalam kapasitas itu,” tutur purnawirawan mayjen TNI ini.

Supiadin menyayangkan rekaman audio Jenderal Gatot mengenai isu penyelundupan 5.000 senjata ilegal dapat bocor ke publik. Menurutnya, pernyataan seperti itu bersifat rahasia dan tidak bisa disebarluaskan. Ia meminta pihak yang menyebar rekaman tersebut bertanggung jawab.

“Jadi saya sekali lagi katakan laporan intelijen itu hanya untuk user dan bukan konsumsi publik. Kalau laporan informasi itu publik namanya, intelijen itu informasi yang sudah diolah, dianalisis, dan disimpulkan, itu namanya laporan intelijen,” jelas Supiadin.

“Nah, kalau orang tahu laporan intelijen, dia tidak boleh, wartawan juga ikut bertanggung jawab, jangan ikut sebarkan dong. Menurut saya, memang laporan intelijen tidak boleh disampaikan di depan umum,” tambahnya.

Mengenai isu penyelundupan 5.000 senjata ilegal, Menko Polhukam Wiranto sudah angkat suara. Ia memberikan klarifikasi bahwa hal tersebut hanyalah masalah miskomunikasi.

Ia membenarkan ada institusi yang membeli senjata, namun tidak ilegal. Wiranto mengatakan BIN hanya membeli 500 senjata untuk pendidikan intelijen.

“Informasi mengenai pengadaan 5.000 senjata itu hanya karena masalah komunikasi yang tidak tuntas. Dalam hal pembelian senjata ini,” kata Wiranto dalam jumpa pers di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Jakpus, Minggu (24/9).

Sementara itu Sekretaris Perusahaan Pindad Bayu A Fiantoro membenarkan pengadaan senjata tersebut dilakukan melalui Polri untuk BIN. Spesifikasi 500 senjata tersebut juga berbeda penggunaannya dengan senjata TNI.

“Ada kerja sama dengan Polri untuk pengadaan senjata untuk BIN sekitar 500 unit. Jenisnya berbeda peruntukannya dengan TNI,” kata Bayu saat dimintai konfirmasi detikcom, Jakarta, Senin (25/9).

Bayu menegaskan 500 senjata pesanan tersebut berjenis nonorganik alias bukan diperuntukkan buat kebutuhan militer. Senjata jenis ini memiliki spesifikasi yang berbeda dengan senjata yang digunakan TNI. “Nonorganik, peruntukannya bukan untuk militer,” tutur Bayu.

Bayu menambahkan, 500 senjata yang dipesan tersebut sampai saat ini juga masih tersimpan rapi di Pindad. “Senjata masih di Pindad,” tambah Bayu. (mb/detik)

Pos terkait