Jenderal Gatot dan Dilema Calon Pendamping Jokowi 2019

Metrobatam, Jakarta – Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sedang naik daun. Namanya masuk dalam beberapa survei elektablitas calon pemimpin negara. Posisi calon wakil presiden dipandang lebih realistis bagi Gatot ketimbang posisi calon presiden untuk Pemilu Presiden 2019. Namun, ada risiko penurunan elektabilitas.

Nama Gatot itu muncul dalam survei Saiful Mujani Research Centre (SMRC) dan Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia).

Pada pertanyaan terbuka (top of mind) tentang Presiden pilihan survei SMRC, nama Jokowi masih unggul dengan 38,9 persen, disusul oleh Prabowo SUbianto dengan 12 persen. Nama Gatot muncul di posisi ke-11 dengan raihan 0,3 persen suara.

Pada pertanyaan semi terbuka (kandidat sudah ditentukan), survei SMRC menemukan bahwa Gatot mendapat angka 1,3 persen. Sementara, Jokowi tetap unggul dengan angka 45,6 persen, dan Prabowo dengan raihan 18,7 persen.

Bacaan Lainnya

Survei KedaiKOPI, yang dirilis pada Minggu (8/10), menemukan bahwa Gatot Nurmantyo memiliki posisi yang makin potensial. Yakni, 12 persen. Namun, itu sebagai salah satu calon Wakil Presiden alternatif bagi Jokowi di Pemilu 2019.

Meski begitu, Jusuf Kalla tetap berada di posisi teratas sebagai cawapres Jokowi (15,1 persen), disusul oleh Prabowo Subianto (13,4 persen). Adapula nama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (10,1 persen), putra SBY Agus Harimurti Yudhoyono (7,5 persen), Menteri Keuangan Sri Mulyani (4,8 persen).

Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan, jalan terjal bakal menghadang Gatot jika ingin berkompetisi di Pemilu 2019.

Merujuk dari survei SMRC, elektabilitas Gatot masih terbilang kecil, jauh di bawah Jokowi. Dengan demikian, pekerjaan rumah pertama yang harus dilakukan Gatot jika ingin berkompetisi adalah kerja keras untuk mendongkrak tingkat keterpilihan atau elektabilitasnya.

“Orang-orang partai politik juga pasti berpandangan, siapa Gatot ini?” tutur Adi kepada CNNIndonesia.com, melalui sambungan telepon pada Minggu malam (8/10).

Terlebih, ujar Adi, parpol adalah satu-satunya jalur untuk maju di Pilpres. Sementara, sebagian besar partai politik telah mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi. Hanya Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Gerindra, dan Partai Demokrat yang belum menentukan bakal calon Presiden pada Pilpres 2019.

Namun, partai-partai tersebut masih memiliki figur lain yang dianggap lebh cocok. Gerindra, misalnya, masih memiliki Prabowo Subianto yang elektabilitasnya jauh di atas Gatot. Partai Demokrat memilih untuk memoles Agus Harimurti Yudhoyono ketimbang mengusung figur lain. Hanya PAN yang menunjukkan ketertarikan kepada Gatot.

“Partai politik juga pikir panjang untuk memajukan orang yang belum berkontribusi kepada partai. Kalau elektabilitasnya sampai 30 persen ya kemungkinan besar diusung,” jelas Adi.

Adi berpendapat, satu-satunya cara Gatot meningkatkan elektabilitasnya adalah dengan tidak menunjukkan sikap mesra dengan Jokowi.

Nama Gatot sendiri mencuat ke permukaan berkat dukungan dari kelompok yang selama ini berseberangan dengan Jokowi. Terutama, kelompok kanan berbasis massa keagamaan yang tergabung dalam Presidium Alumni 212.

Gatot sendiri kerap dielu-elukan oleh kelompok tersebut di beberapa aksi unjuk rasa. Misalnya, ketika aksi 299 di depan Gedung DPR dan Tugu Tani. Mereka memuja sang panglima karena dinilai berada di posisi yang sama, yakni menangkal bangkitnya komunisme di Indonesia.

Sebaliknya, kata Adi, elektabilitas Gatot bakal anjlok apabila menunjukkan sikap mesra dengan Jokowi. Pendukung Gatot selama ini pun akan megalihkan suaranya jika Panglima menjadi calon Wakil Presiden bagi Jokowi.

“Kelompok fundamental kanan ini kan hanya satu kata kuncinya, ‘asal bukan Jokowi’,” cetus Adi. “Mereka pasti berpandangan, untuk apa menjadi bagian dari pemerintah yang zalim terhadap umat Islam. Kan begitu,” imbuhnya.

Di sisi lain, pendukung Jokowi tidak akan keberatan jika Gatot menjadi cawapres bagi Jokowi. Menurutnya, pemilih Jokowi cenderung tidak ngoyo perihal siapa yang akan menjadi cawapres.

“Presidennya tetap jokowi. Wakilnya siapa pun oke, asal bukan Prabowo,” kata Adi.

Meski begitu, tidak mudah pula bagi Gatot untuk mendapat kursi calon wakil presiden mendampingi Jokowi. Elektabilitas merupakan satu-satunya daya tawar bagi seseorang yang ingin ikut dalam kontes politik.

Kemesraan dengan Jokowi dinilai bakal membuat elektabilitas Gatot merosot. Partai politik pendukung Jokowi pun bakal sungkan untuk memajukan nama Gatot sebagai pendamping Jokowi.

Opsi membuat partai pun akan sulit mengingat waktu Pilpres yang semakin dekat. “Membuat partai politik juga sudah terlambat,” kata Adi.

Meski demikian, Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan menyebut sosok Gatot sebagai cawapres bisa membantu Jokowi untuk menggerogoti suara Prabowo Subianto. Sebab, massa pendukung Gatot memiliki kemiripan karakter dengan massa pendukung Prabowo. Yakni, masyarakat yang merupakan oposisi terhadap Jokowi.

“Ada kemungkinan dia menggerus suara Prabowo, meski kita belum tahu seberapa banyak,” kata dia, di kantornya, Kamis (5/10).

Sementara, lanjut Djayadi, kemenangan tak akan diraih jika Gatot berpasangan dengan Prabowo untuk melawan Jokowi di Pilpres 2019. Sebab, konstituen keduanya berasal dari kelompok yang sama.

Nama Gatot sendiri mencuat, terutama, setelah adanya isu soal impor sebanyak 5.000 senjata api oleh institusi non-militer dan perintah untuk menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.

Sejak polemik itu, Gatot kerap dituding melakukan manuver politik untuk mendongkrak namanya jelang Pilpres 2019. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait