Rhoma Irama Tak Bisa Nyapres, DPR: Presidential Threshold Sah

Metrobatam, Jakarta – Ketua Umum Partai Idaman, Rhoma Irama mengaku tidak bisa mencalonkan diri menjadi presiden karena dibatasi syarat presidential threshold. Yaitu capres sedikitnya mengantongi dukungan 20 persen suara parpol pemenang pemilu. Gugatan pun dilayangkan ke MK.

Menjawab hal itu, DPR mengatakan presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka dan bukan pelanggaran konstitusi.

“Sudah terang dan jelas, yakni presidential threshold atau ambang batas presiden, murni merupakan kebijakan hukum terbuka, open legal policy. Bahwa norma pasal a quo melanggar Konstitusi apabila norma tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan, yakni intolerable,” kata Ketua Pansus RUU DPR Lukman Edy.

Hal itu disampaikan dalam sidang di MK, Kamis (5/10) kemarin, sebagaimana dikutip dari website MK, Jumat (6/10).

Bacaan Lainnya

Lukman mengutip Putusan MK Nomor Nomor 51/PUU-VI/2008, 52/PUU-VI/2008, 59/PUU-VI/2008 yang menyatakan:

Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal Konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang- undang.

“Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional. Kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable,” kata Lukman.

Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, yang menyatakan:

Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah

Selain itu, pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 berbunyi:

Pemilu presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan secara serentak dengan pemilu legislatif pada tahun 2019. Bahwa pembentuk Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden beralasan bahwa pemilu legislatif didahulukan daripada pemilu presiden dan wakil presiden bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial. Sehingga diperlukan ambang batas presidential threshold bagi partai politik yang mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Namun, dengan dilaksanakannya pemilu serentak ini, maka apakah alasan tersebut masih relevan, putusan Mahkamah Konstitusi tidak menafsirkan apakah ambang batas atau presidential threshold masih perlu atau tidak,” pungkas Lukman Edy. (mb/detik)

Pos terkait