Soal Kumpul Kebo Tak Bisa Dipidana, Ketua MK: Despiritualisasi Hukum

Metrobatam, Jakarta – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menyatakan KUHP harus disesuaikan dengan semangat kebangsaan Indonesia. KUHP yang diimpor dari Belanda dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai bangsa. Salah satunya yaitu soal kumpul kebo.

Dalam Pasal 284 KUHP, kumpul kebo tidak dilarang. Orang yang dipidana hanya orang yang salah satu pihak atau kedua belah pihak sudah menikah.

“Manakala norma Undang-Undang a quo secara nyata mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang pada dasarnya bersifat ‘terberi’ (given) bagi ketertiban dan kesejahteraan kehidupan manusia, sebab adultery dan fornication sejatinya merupakan mala in se dan bukan mala prohibita karena sifat ketercelaannya (verwijtbaarheid) bersifat intrinsik dan jelas disebutkan dalam Al Qur’an serta berbagai kitab suci lain sehingga aspek persetujuan (perwakilan) rakyat tidaklah menjadi aspek yang sine qua non seperti manakala suatu negara harus memutuskan akan melakukan atau tidak melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang bersifat mala prohibita,” ujar Arief.

Hal itu dituliskan dalam dissenting opinion yang dituangkan dalam putusan MK yang dibacakan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta (14/12).

Bacaan Lainnya

Menurut Arief, dalam konteks hukum dan dinamika masyarakat, rasio dan kalbu manusia harus digunakan secara seimbang. Namun penggunaan rasio secara berlebihan hingga membuat peran kalbu semakin marjinal hanya akan menciptakan despiritualisasi hukum yang pada akhirnya dapat membinasakan hidup dan kehidupan manusia.

“Penyempitan makna zina yang hanya meliputi adultery menurut Pasal 284 KUHP jelas merupakan despiritualisasi hukum, sebab menurut ajaran agama dan ketertiban umum yang memang oleh konstitusi dijadikan sebagai salah satu rambu atau pedoman yang harus dipatuhi dalam membentuk norma undang-undang, persetubuhan antara laki-laki dan perempuan secara manusiawi hanya dapat dibenarkan melalui sarana lembaga perkawinan,” papar Arief.

Pendapat Arief diamini empat hakim konstitusi Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto. Namun keempat suara mereka kalah suara dengan 5 hakim konstitusi lainnya dengan alasan kewenangan mengkriminalisasi kumpul kebo ada di tangan Pemerintah-DPR.

Sebagaimana diketahui, putusan itu diketok atas permohonan guru besar ITB Euis Sunaryati dkk. Mereka meminta kumpul kebo dan LGBT dimasukan delik pidana dan bisa dipenjara. Namun MK terpecah. 5 hakim konstitusi menolak, 4 mendukung.

MK Tak Berpihak

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak mengadili gugatan agar Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) bisa dipidana. Aktivis gay menyambut baik.

“Ini contoh baik, satu lembaga negara di atas semua golongan, tidak berpihak ke siapa-siapa,” kata aktivis gay, Dede Oetomo, saat dimintai tanggapannya via sambungan telepon, Jumat (15/12).

Dede adalah Pembina Yayasan GAYa NUSANTARA, organisasi gay di Indonesia. Menurut Dede, meski MK menolak mengadili gugatan yang bertujuan mempidanakan kaum gay itu, namun sebenarnya MK tidaklah berpihak kepada kaum gay. “MK main aman,” kata dia.

MK menyerahkan urusan peraturan perundang-undangan soal pemidanaan LGBT sekaligus kumpul kebo kepada lembaga yang bertugas membikin undang-undang, yakni DPR dan Presiden.

Orientasi seksual dan perkara seksual lainnya termasuk ranah privasi yang perlu dilindungi. Aparat penegak hukum tak perlu mengurusi soal ranah seks paling privat yang dilakukan warga negara.

“Berapa juta orang yang berhubungan seksual secara tidak sah? Kalau diurusi sama polisi begitu, apa polisi nggak punya kerjaan sehingga ngurusi orang ML (making love)?” ujarnya.

Kembali ke soal gugatan yang ditolak MK itu, menurut Dede pihak penggugat itu kurang tepat dalam beraksi. “(Penggugat) Salah alamat. Kalau mau, usulkan ke DPR karena DPR-lah yang berwenang membuat undang-undang dan membuat pasal di KUHP,” kata Dede.

Permohonan gugatan itu diajukan oleh guru besar IPB dkk, Euis Sunarti. Penggugat yang juga guru besar IPB beserta 11 temannya yang meminta MK meluaskan makna pasal asusila dalam KUHP yaitu pasal 284, 285 dan 292. Dalam gugatannya itu, Euis dkk berharap kumpul kebo dan homoseks bisa masuk delik pidana dan dipenjara.

MK menolak mengadili gugatan itu. Diketok oleh Ketua MK Arief Hidayat, putusan MK menolak permohonan untuk seluruhnya. Majelis menganggap, kewenangan menambah unsur pidana baru dalam suatu undang-undang bukanlah kewenangan MK. Melainkan kewenangan dari Presiden dan DPR.

Meski begitu, para hakim konstitusi tidak bulat bersuara dalam pengambilan keputusan ini. Empat hakim konstitusi setuju LGBT serta kumpul kebo masuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan lima hakim lainnya tidak. (mb/detik/cnn indonesia)

Pos terkait