Dilema Prabowo, Tugas Gatot dan Keuntungan Incumben Jokowi

Metrobatam, Jakarta – Keriuhan pencalonan capres dan cawapres sudah bergema sejak Februari meskipun pendaftaran nama untuk pemilihan presiden 2019 baru berlangsung awal Agustus mendatang.

Presiden Joko Widodo sebagai incumben sudah dicalonkan oleh beberapa partai yaitu PDIP, NasDem, Golkar dan PPP.

Meski Presiden Jokowi sendiri belum menyatakan dengan gamblang dia akan turun kembali, sebagai incumben hampir pasti dia akan berlaga.

Perhatian kini terpusat pada tokoh yang akan menjadi lawannya di pilpres 2019. Mata pun mengarah pada Prabowo Subianto, ketua partai Gerindra, yang sudah dua kali berlaga di pemilihan presiden. Satu kali sebagai calon wakil presiden dan sekali sebagai calon presiden.

Bacaan Lainnya

Banyak pihak berspekulasi Prabowo akan kembali berlaga di pemilihan presiden untuk ketiga kali. Spekulasi ini tampaknya diambil berdasarkan koalisi partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera yang berdasarkan aturan Parliamentary Treshold (PT) menjadi satu kekuatan pasti melawan partai-partai pendukung Presiden Jokowi.

Di antara dua partai ini, Prabowo dianggap memiliki elektabiltas paling tinggi dibandingkan tokoh-tokoh lain yang berasal dari partai-partai tersebut.

Survey Polcomm Institute menunjukkan popularitas Prabowo mencapai 29,67 persen, Populi Center mencatat 25,3 persen. Survey SMRC menyebut 18,5 persen responden menyatakan Prabowo sebagai calon presiden.

SMRC menyebut pesaing terdekat Prabowo asalah Jusuf Kalla dengan 14,1 persen, Agus Harimurti Yudhoyono sebesar 12,7 persen dan Gatot Nurmantyo dengan 12,2 persen.

Elektabilitas para pesaing ini jauh di bawah Jokowi yang memiliki tingkat keterpilihan antara 35 persen hingga 60 persen lebih dari berbagai survey sejumlah lembaga.

Hasil survey awal ini tentu saja masih bisa berubah tergantung situasi menjelang pilpres 2019, akan tetapi dengan jadwal pendaftaran capres dan cawapres pada bulan Agustus mendatang, faktor ini tentu menjadi salah satu pertimbangan penting.

Selain itu faktor “juara bertahan” patut diperhatikan karena Jokowi sebagai incumben tentu saja diuntungkan dengan posisinya.

Untuk melihat keuntungan yang dimiliki oleh incumben ada baiknya kita melihat pengalaman Amerika Serikat meskipun negara ini tidak murni menjalankan pemilihan presiden langsung. Negara ini dianggap sebagai negara paling demokratis dalam pemilihan presiden.

Pemilih AS tampaknya lebih mengedepankan keberlanjutan program incumben dan pilpres menjadi pertarungan terbuka setelah delapan tahun atau dua periode presiden yang diizikan oleh undang-undang.

Kekalahan incumben biasanya ditentukan oleh faktor-faktor luar biasa. Sejak 1970-an, sudah 12 kali pilpres di AS dan baru tiga kali incumben kalah dari lawan-lawannya.

Gerald Ford yang menjadi presiden setelah Nixon mengundurkan diri karena skandal Watergate kalah dari Jimmy Carter, yang sangat tidak diunggulkan dari partai Demokrat. Penyebab utama kekalahan Ford adalah karena dia mengampuni Nixon dan tidak mengambil jalan hukum dalam skandal tersebut.

Jimmy Carter dinilai terlalu lemah sehingga kalah dari Ronald Reagen yang juga dibantu dengan politisasi penyanderaan staf kedutaan AS di Tehran, Iran ketika terjadi Revolusi Islam.

George H. Bush kalah dari Bill Clinton akibat masalah ekonomi dan keraguan Bush untuk mencuri start dalam berkampanye.

Dalam konteks Indonesia, faktor incumben ini tentu saja bisa diperdebatkan karena demokrasi negara ini yang tergolong masih berusia muda, sejak reformasi 1998. Terlebih lagi pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat baru dimulai pada 2004.

Hanya saja tidak bisa ditampik kinerja masa jabatan pertama dan kemudahan melakukan kampanye terselubung akan jadi kelebihan incumben.

Presiden bisa membuat kebijakan populis untuk mendongkrak namanya. Sebagai presiden, incumben bisa berkeliling negara untuk melakukan “kunjungan kerja”. Tentunya dengan biaya yang ditanggung pemerintah.

Presiden Jokowi sangat rajin melakukan kunjungan kerja ke daerah, meski harus ditekankan bahwa kebiasaan ini sudah dimulai sejak awal dia memerintah.

Namun, belakangan ini kunjungan kerja ini semakin sering dilakukan. Tidak hanya meninjau proyek yang sedang dibangun tetapi juga rajin mendatangi pesantren di seluruh Indonesia, bertemu dengan ulama-ulama terpandang di daerah.

Selain itu ia juga temu wicara langsung dengan masyarakat yang diwarnai dengan acara bagi-bagi hadiah melalui kuis yang menarik hati pemilih.

Program pembangunan infrastruktur terutama di luar Jawa terus didengungkan sebagai keberhasilan pemerintah Jokowi. Kebijakan-kebijakan populis pun sudah diambil, misalnya keputusan untuk tidak menaikkan tarif dasar listrik serta harga premium dan menurunkan tarif tol.

Ada juga kebijakan untuk warga tak mampu antara lain bantuan dana tunai, yang bukan tidak mungkin akan lebih besar lagi jangkauannya menjelang pilpres.

Prabowo tentu bukan politisi hijau yang tidak menghitung situasi ini sebelum memutuskan untuk berlaga. Dia menyadari dana yang akan dikeluarkan tidak sedikit, sejumlah pihak menyebut Rp6 triliun, untuk “menjual diri” dan menyambangi daerah-daerah di Indonesia yang sangat luas.

Para pendukung Prabowo menyebut elektabilitas junjungannya itu akan naik ketika dia secara resmi mencalonkan diri sehingga mesin partai mulai bergerak dan dia pun mulai berkeliling Indonesia.

Akan tetapi, elektabilitas Jokowi pun akan meningkat jika dia sudah secara resmi mencalonkan diri.

Sinyal bercabang terus saja dikeluarkan oleh pihak Prabowo dan juga elemen-elemen partai. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo menyebut banyak faktor, kesehatan dan logistik, yang dipertimbangkan oleh Prabowo sebelum memutuskan untuk maju di pilpres 2019.

Sekjen partai Fadli Zon, meski bersikeras tetap mencalonkan Prabowo sebagai capres, secara tiba-tiba menyebut Indonesia perlu dipimpin oleh Putin atau orang yang memiliki sikap seperti Putin.

Prabowo kah? Atau justru mengarah kepada Gatot Nurmantyo, yang secara resmi pensiun dari TNI pada 1 April 2018.

Pernyataan Fadli Zon yang dikeluarkan melalui akun Twitternya pada 30 Maret dan berdekatan dengan masa pensiun Gatot, tentu bukanlah satu kebetulan meski kemudian dipertegas bahwa yang dimaksud adalah Prabowo.

Gatot pun telah melempar umpan yang menegaskan ambisi politiknya setelah pensiun dari TNI.

Melalui keterangan tertulis Gatot menyatakan bahwa: “Mengabdi kepada nusa bangsa tak selalu harus memanggul senjata. Mulai hari ini saya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai anak bangsa, anggota masyarakat sipil dan warga negara RI lainnya. Termasuk untuk memiliki hak memilih, juga hak dipilih saat pemilu mendatang.”

Kini dia hanya memerlukan kendaraan politik, dan satu-satunya yang tersedia (hingga saat ini) adalah koalisi Gerindra-PKS.

Sinyal-sinyal sudah dikeluarkan.

Jikapun masalah dana bukan halangan, perjalanan Gatot memang masih panjang dan terjal karena elektabilitasnya jauh di bawah Prabowo apalagi jika dibandingkan dengan elektabilitas Jokowi.

Lalu apakah Prabowo akan menyerahkan tiketnya ke Gatot? Sebagai seorang mantan tentara, Prabowo tentu mengkaji benar kekuatan lawan yang menurut sejumlah survey sangat sulit dikalahkan, kecuali keadaan ekonomi negara benar-benar jatuh alias terjadi krisis ekonomi.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dia dengan elegan bisa menyerahkan tiketnya kepada Gatot Nurmatyo yang tingkat elektabilitasnya jauh di bawah dia?

Jadi, tugas Gatot saat ini adalah menaikkan tingkat elektabiltas sehingga Prabowo dengan mudah, dan tanpa menimbulkan gejolak di tubuh partai dan koalisi, bisa menyerahkan tongkat komando berjuang di pilpres 2019.

Gatot harus menunjukkan bahwa dia adalah “worthy opponent” atau lawan yang layak bagi Jokowi agar Prabowo bisa meyakinkan para pendukungnya: ini adalah pilihan terbaik dan bisa mengatakan tiket diserahkan ke tokoh yang memang memiliki kemampuan dan peluang lebih baik untuk mengalahkan Jokowi. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait