Ketua KPK Keluhkan Dosen Kampus Negeri Cenderung “Membela” Terdakwa Korupsi

Metrobatam, Jakarta – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengeluh mereka kesulitan mencari ahli dari kalangan dosen universitas negeri untuk membantu pembuktian kasus rasuah saat proses penyidikan maupun penuntutan di pengadilan. Dia mengaku heran ketika banyak dosen perguruan tinggi cenderung ‘membela’ terdakwa korupsi dalam persidangan.

“Sekarang ini kalau KPK mencari saksi ahli kami kesulitan. Nyari saksi ahli yang berpihak pada penuntutan korupsi itu kesulitan,” kata Agus dalam peluncuran Akademi Antikorupsi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), di Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, Jakarta, Kamis (19/4).

Agus mengakui setiap ahli digunakan KPK dalam setiap kasus korupsi hanya diberi honor Rp5 juta sampai Rp6 juta dalam satu kesempatan. Sementara terdakwa korupsi berani merogoh kocek hingga Rp100 juta buat membayar seorang ahli. Agus menduga ketimpangan itu kemungkinan menjadi alasan mengapa ahli di kampus negeri malah memilih membela terdakwa.

“Ini mungkin perlu betul dipikirkan aturan-aturan itu. Karena kami mencari saksi ahli di perguruan tinggi, karena honornya hanya Rp5 sampai Rp6 juta susahnya bukan main,” ujar Agus.

Bacaan Lainnya

Mantan Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) itu pun mengusulkan kepada Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Girsang, agar membuat aturan agar dosen universitas negeri wajib membela KPK.

Agus mengusulkan agar pemerintah membuat aturan yang mewajibkan dosen perguruan tinggi menjadi ahli bagi KPK.

“Ini kok pegawainya pemerintah kok malah melawan pemberantasan korupsi. Apakah enggak bisa keluarkan (peraturan), misalkan menjadi pegawai perguruan tinggi negeri itu ya harus berpihak kepada KPK dong, jangan berpihak di sana (terdakwa korupsi),” ujarnya.

Selain honor minim yang diterima, Agus menduga ada hal lain menyebabkan seorang ahli enggan bersaksi buat KPK. Yaitu soal ancaman gugatan hukum menghantui mereka, terkait dengan pernyataan yang mereka sampaikan di penyidikan maupun penuntutan. Hal itu seperti dialami oleh ahli yang juga dosen di Institut Pertanian Bogor, Basuki Wasis.

Basuki digugat secara perdata oleh Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam. Nur Alam merupakan terdakwa korupsi izin tambang yang telah divonis 12 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.

Politikus PAN itu menggugat Basuki di Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor, Jawa Barat lantaran menyampaikan perhitungan kerugian negara dampak lingkungan dalam kasus yang menjeratnya.

Basuki menyebut perbuatan Nur Alam berpotensi merugikan negara hingga Rp2,7 triliun, yang berasal dari musnahnya atau berkurangnya ekologis/lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabaena. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait