Analisis: Cawapres Nonparpol, Jalan Tengah untuk Jokowi

Metrobatam, Jakarta – Sejumlah nama calon wakil presiden telah dikantongi Joko Widodo untuk maju pada pemilihan presiden 2019. Tokoh dari luar parpol diprediksi jadi calon kuat agar koalisi pendukung Jokowi tak pecah.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri pun memberi sinyal bahwa Jokowi telah mengantongi nama tersebut. Dia mengerucutkan nama bakal cawapres tersebut.

Pernyataan itu disampaikan Megawati usai menjalin pertemuan dengan Jokowi selama 1 jam 50 menit di Istana Batu Tulis, Bogor, Minggu (9/7) malam.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut pengumuman cawapres akan dilakukan pada momentum yang tepat, saat cuaca cerah usai matahari terbit dari timur.

Bacaan Lainnya

Sementara Sekjen Partai NasDem Johnny G. Plate menyebut kandidat cawapres Jokowi merupakan tokoh profesional nonpartai yang akan membuat gempar jagat perpolitikan nasional. Dia mengklaim nama cawapres itu dipilih sesuai pilihan partai koalisi pemerintah, termasuk NasDem.

Sejumlah nama kemudian digadang-gadang mengisi posisi cawapres Jokowi itu. Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan ada enam nama yang dipilih menjadi kandidat cawapres Jokowi.

Mereka di antaranya Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Dewan Pembina Partai Hanura Wiranto, Ketua KSP Moeldoko, Ketua Umum PPP Romahurmuziy dan Ketua Umum MUI Maruf Amin.

Sementara itu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA memprediksi lima nama berpotensi bakal mendampingi capres petahana Jokowi di pilpres tahun depan.

Selain Mahfud MD dan Moeldoko, LSI Denny JA memprediksi ada nama Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Rajarjo Jati menilai Jokowi akan mengulang strategi pilpres 2014 dengan memilih cawapres dari kalangan nonparpol.

“Menurut saya Jokowi bakal memilih cawapres dari kalangan nonparpol, sama seperti strategi dia saat (pilpres) 2014 lalu,” kata Wasisto saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Selasa (10/7).

Pada pilpres 2014 lalu Jokowi memilih figur Jusuf Kalla yang tak memiliki jabatan struktural di parpol saat itu, meski yang bersangkutan pernah menjadi Ketua Umum Golkar pada tahun 2009 lalu.

Menurutnya, kemungkinan Jokowi memilih cawapres dari nonparpol untuk meminimalisasi konflik dan kecemburuan antarparpol pendukungnya yang masing-masing ngotot agar ‘jagoan’ mereka diusung menjadi cawapres Jokowi.

Saat ini Jokowi diusung lima partai koalisi yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP.

Golkar telah menyodorkan nama Ketua Umum Airlangga Hartanto untuk mendampingi Jokowi dengan membentuk ‘Gojo’ atau ‘Golkar Jokowi’.

Ada pula nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang diklaim telah membentuk ribuan posko ‘Join’ alias Jokowi-Cak Imin. Sementara Ketua Umum PPP Romahurmuziy juga memiliki ambisi yang sama untuk jadi cawapres.

“Itulah makanya tokoh nonparpol dipilih, karena untuk menghindari konflik dan kecemburuan politik antar koalisi partai pendukung,” kata pria lulusan Universitas Gadjah Mada tersebut.

Meski begitu, Wasis mengingatkan agar Jokowi dapat mengakomodasi berbagai kepentingan atau ‘deal-deal’ politik bagi para parpol pengusungnya tersebut jika memilih pasangan dari luar parpol.

Hal itu bertujuan agar koalisi parpol tetap solid dan tak terpecah belah di pilpres 2019 mendatang meski semua kandidatnya tak mendapatkan posisi cawapres.

“Jadi Jokowi harus pintar-pintar mengakomodasi, misalnya ada penambahan slot kursi menteri atau jabatan publik lainnya bagi partai koalisi Jokowi sebagai balas budi politik,” ujarnya.

Politik Transaksional

Wasisto tak menafikan dalam kancah perpolitikan tanah air semua elite parpol pasti memiliki kepentingan politiknya masing-masing. Salah satunya dengan menduduki jabatan-jabatan publik tertentu.

Sehingga tak heran jika politik transaksional kerap terjadi untuk memuluskan kepentingan politik tertentu.

“Jokowi sadar bahwa beliau bukan petinggi atau ketua partai, sementara yang jadi mitranya adalah para ketua partai politik yang tentunya besar ego politiknya,” kata Wasis.

Sementara itu, Peneliti Populi Center Usep S. Ahyar menilai nama-nama kandidat cawapres Jokowi yang beredar di masyarakat telah memiliki kapasitas yang mumpuni untuk mendampingi Jokowi.

Meski demikian, Usep mengatakan sosok pendamping Jokowi harus bisa menutupi kelemahan yang dimilikinya baik dari sisi elektabilitas maupun dari sisi kepemimpinan.

“Misalnya dalam konteks melengkapi elektabilitas, tentunya akan dihitung kelemahan elektabilitas dari sisi geografis, latar belakang kelemahan Jokowi akan dihitung misalnya,” ujar Usep saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Selain itu, Usep menjamin bahwa parpol koalisi akan menerima siapapun cawapres yang menjadi pilihan Jokowi asalkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu mampu memberikan konsesi politik yang mereka inginkan.

Jika Jokowi tak dapat memberikan konsesi yang mereka inginkan, dipastikan koalisi tersebut akan guncang dan bakal menyulitkan pencalonannya di pilpres tahun depan.

“Kalau merasa konsesi secara keseluruhan tidak memuaskan, tentu guncang, kan jabatan poltik enggak hanya cawapres, tapi jabatan politik lain tentu akan menjadi posisi tawar di masing-masing parpol itu,” ujarnya. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait