Larangan Eks Koruptor Jadi Caleg Diundangkan di Kemenkumham

Metrobatam, Jakarta – Kementerian Hukum dan HAM akhirnya mengundangkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (PKPU) yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif pada Pemilihan Umum 2019.

PKPU Nomor 20 tahun 2018 sudah masuk dalam Berita Negara Republik Indonesia dengan Nomor 834, 2018 yang ditandatangani Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Widodo Eka Tjahjana pada 3 Juli 2018.

Meski begitu, KPU sedikit mengubah isi PKPU yang sudah diundangkan di Kemenkumham. Perbedaan tersebut nampak pada nomenklatur larangan mantan napi korupsi menjadi caleg.

Mulanya, aturan itu tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h Bab II Bagian Keempat tentang Pengumuman dan Tata Cara Pengajuan Bakal Calon. Dalam beleid tersebut tertuang berbagai syarat seseorang yang ingin menjadi caleg termasuk bukan mantan terpidana kasus korupsi.

Bacaan Lainnya

Lihat juga: Eks Koruptor Dilarang Nyaleg, Fahri Nilai KPU Gagal Paham

KPU akan menolak caleg yang diajukan parpol jika memiliki riwayat sebagai terpidana kasus korupsi.

“(bakal calon anggota legislatif) Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi,” bunyi Pasal 7 ayat (1) huruf h PKPU No 20 tahun 2018 yang belum diundangkan.

Setelah diundangkan Kemenkumham, larangan itu berada pada bagian yang berbeda, yakni dalam Pasal 4 Ayat (3) Bab II Bagian Kesatu tentang Umum.

Pasal tersebut diketahui tidak mengatur tentang syarat bacaleg yang ditetapkan KPU, tetapi tentang bagaimana parpol menyeleksi bacaleg sebelum didaftarkan ke KPU.

“Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), [partai politik] tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi,” bunyi Pasal 4 Ayat (3) PKPU No 20 tahun 2018 yang telah diundangkan.

Perbedaan lain juga terdapat pada syarat berkas yang harus dilampirkan partai politik saat mendaftarkan bacaleg ke KPU.

Pada PKPU No 20 tahun 2018 yang belum diundangkan, partai politik wajib menyertakan formulir model BB.1. Formulir itu adalah surat pernyataan dari bacaleg bahwa dirinya bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat berbicara, membaca dan menulis dalam Bahasa Indonesia dan seterusnya.

Salah satu poin pernyataan yang harus dicantumkan adalah bahwa bacaleg mengakui bukan mantan terpidana korupsi. Hal itu tertuang dalam Pasal 8 Ayat (14).

Setelah diundangkan, formulir BB.1 tidak lagi harus memuat pengakuan bacaleg pernah menjadi terpidana korupsi. KPU justru mensyaratkan berkas tambahan, yakni formulir B3.

Bedanya, formulir BB.1 merupakan surat pernyataan yang ditandatangani bacaleg, sementara formulir B3 berupa Pakta Integritas yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekjen parpol.

Dalam formulir B.3, ketua umum parpol dan sekjen menyatakan bahwa bacaleg yang diajukan bukan mantan napi korupsi. Jika ternyata sebaliknya, maka parpol bersedia menerima sanksi administratif.

“Kami bersedia dikenakan sanksi administrasi berupa pembatalan bakal calon yang diajukan/bakal calon yang tercantum dalam Daftar Calon Sementara/calon yang tercantum dalam Daftar Calon Tetap/calon terpilih,” mengutip isi formulir B.3.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengklaim tidak ada perbedaan substansial antara PKPU yang belum dengan yang sudah diundangkan. Pada intinya, peraturan tetap tidak memperkenankan parpol mendaftarkan mantan napi korupsi sebagai bacaleg.C

Kali ini, kata Wahyu, parpol harus memastikan bahwa bacaleg bukan mantan napi korupsi sebelum didaftarkan ke KPU.

“Tapi bila ada pelanggaran atas PKPU, maka KPU juga punya kewenangan eksekusi sejak tahapan pendaftaran bacaleg, calon sementara, calon tetap, dan calon terpilih,” katanya kepada wartawan melalui pesan singkat, Selasa (3/7).

Sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM menolak mengundangkan PKPU No 20 tahun 2018. Kemenkumham menilai larangan mantan napi korupsi menjadi bacaleg dalam PKPU tersebut bertentangan dengan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang merupakan rujukan pembuatan PKPU. Menurut Kemenkumham, larangan eks koruptor didaftarkan sebagai bacaleg harus dihapus karena UU No 7 tahun 2017 tidak mengatur larangan tersebut.

Jokowi Diminta Tegas

Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hadar Nafis Gumay menyatakan Presiden Joko Widodo perlu bersikap tegas kepada para pembantunya guna menyelesaikan polemik larangan eks koruptor menjadi calon legislatif.

Jokowi diminta bersikap tegas lantaran salah satunya pembantunya, yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly masih menolak mengundangkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, yang memuat aturan tersebut.

Hadar mengatakan sikap Menkumham itu akan menghambat kerja KPU menyiapkan pemilu 2019.

“Mari lihat presiden. Presiden mengatakan ‘urusan terakhir finalnya itu adalah KPU’. Kita harus dengarkan. Tapi buat saya bingung, Presiden punya posisi A tapi membiarkan menterinya posisi B,” kata Hadar di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/7).

“Itu yang menurut saya mestinya presiden mengingatkan betul, sehingga tidak seperti ini,” imbuh dia.

Hadar menuturkan KPU merupakan lembaga independen. Oleh karena itu, KPU memiliki kewenangan penuh dalam membuat Peraturan KPU (PKPU) yang akan digunakan untuk Pemilu 2019. Termasuk menetapkan aturan mantan narapidana kasus korupsi tidak bisa mendaftarkan diri menjadi calon anggota legislatif.

Meski memiliki otoritas penuh dalam menetapkan PKPU, Hadar mengatakan KPU tak bisa sewenang-wenang membuat aturan.

KPU harus mendengarkan masukan berbagai pihak pada tahap konsultasi dengan DPR dan Pemerintah. Namun, kata Hadar, masukan yang disampaikan tidak mengikat.

“Kalau kemudian bahwa harus mengikat, bagaimana KPU mau mandiri. Nanti setiap saat seseorang ada kepentingan bisa memaksa, melalui pemerintah atau pihak lain dan KPU tidak adil dalam membuat peraturan,” kata dia.

Atas dasar argumen itu, Hadar menyatakan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tidak boleh menolak mengundangkan PKPU yang telah dibuat KPU. Apalagi meminta KPU mengubah isi PKPU, karena hal itu bukan kewenangan Kemenkumham.

Hadar berpendapat tugas Kemenkumham hanya bersifat administratif dimana aturan yang sudah dibuat oleh lembaga berwenang harus segera diundangkan agar masyarakat tahu bahwa aturan tersebut telah berlaku.

“Kemenkumham tidak punya otoritas untuk mempermasalahkan substansinya karena Kemenkumham sebagai bagian dari pemerintah sudah mengikuti proses konsultasi di DPR, jadi di situ sudah disampaikan (masukan dari pemerintah),” ujar Hadar. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait