Ini Bedanya Pelemahan Rupiah 2018 dan Krismon 1998

Metrobatam, Jakarta – Rupiah terus mengalami tekanan dari dolar Amerika Serikat (AS). Perdagangan dolar AS hari ini sudah mencapai posisi Rp 14.897. Waktu krisis 1998 nilai dolar AS berada di kisaran Rp 16.500.

Apa iya Indonesia menuju krisis? Jika tidak apa bedanya nilai Rupiah kini dan 20 tahun lalu?

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menjelaskan kondisi Indonesia saat ini tidak mirip dengan era 97-98. Menurut dia 20 tahun lalu ada masalah politik yang kuat dan terlalu runyam.

“Kalau sekarang itu Indonesia, sepenuhnya masalah ekonomi dan sentimen global,” kata Jahja kepada detikFinance, Selasa (4/9/2018).

Bacaan Lainnya

Jahja mengharapkan, isu ekonomi ini tidak dijadikan bahan untuk politik, meskipun di dunia politik semua cara dihalalkan.

“Harapan saya jangan lah, kalau NKRI hancur kan kita rakyat sama-sama menanggung rugi, padahal sekarang lagi bagus. Menurut saya, kalau tidak ada faktor eksternal atau global ini Indonesia masih bagus ekonominya, tidak ada yang mengganggu kepercayaan masyarakat,” ujarnya.

Ekonom PermataBank Josua Pardede menjelaskan, saat ini nilai tukar sebagian negara berkembang cenderung terkoreksi terhadap dolar AS, namun kondisi ini masih jauh dari krisis 1998.

Dia menjelaskan kondisi fundamental perekonomian Indonesia sekarang sangat berbeda dengan kondisi fundamental pada tahun 1998. Saat itu krisis yang berawal dari krisis mata uang Thailand Bath juga diperburuk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak prudent karena sebagian utang luar negeri swasta tidak memiliki instrumen lindung nilai.

Josua mengungkapkan, saat itu penggunaan utang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, serta utang luar negeri yang dipergunakan untuk pembiayaan usaha yang berorientasi domestik.

“Krisis utang swasta pada 1997-1998 tersebut yang mendorong tekanan pada rupiah di mana tingkat depresiasi rupiah mencapai sekitar 600% dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, yaitu dari Rp 2.350 per dolar menjadi Rp 16.000 per dolar,” kata Josua.

Sementara jika melihat kondisi fundamental Indonesia pada tahun ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati dimana Bank Indonesia juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.

“Pengelolaan yang lebih baik dari utang luar negeri swasta terlihat dari pertumbuhan utang jangka pendek yang cenderung rendah,” ujar dia.

Selain itu, jika volatilitas nilai tukar rupiah cenderung meningkat, BI diperkirakan akan kembali lagi memperketat kebijakan moneternya dalam jangka pendek ini untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar.

Mempertimbangkan perbaikan fundamental ekonomi, afirmasi dari Fitch terhadap peringkat utang Indonesia yang masih layak investasi dengan outlook stable, maka pemerintah dan BI diperkirakan akan dapat mengelola stabilitas rupiah sehingga dapat meredam pelemahan rupiah di bawah level Rp 15.000 per dolar AS.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan kondisi saat ini dan 98 berbeda. Meskipun sama-sama dipicu krisis mata uang negara berkembang. Saat 1998 krisis dimulai dari Thailand dan tahun ini dimulai dari Turki dan Argentina.

Menurut Bhima, dari kesiapan Indonesia menghadapi krisis terlihat dengan perbaikan rating utang yang signifikan. Tahun 1998 rating Fitch anjlok hingga B- dengan outlook Negatif. Tahun 2018 per September Fitch memberikan rating utang BBB dengan outlook Stabil.

Kemudian kinerja pertumbuhan ekonomi 1998 merosot ke -13,6%. Saat ini pertumbuhan ekonomi berada di 5,2% per triwulan II 2018. Inflasi sempat naik hingga 77% saat krisis moneter.

“Sekarang cukup stabil di bawah 3,5%. Pelemahan kurs rupiah belum terlihat dampaknya pada Agustus 2018 yang justru mencatat deflasi,” imbuh dia.

Kemudian cadangan devisa tahun 1996 sebelum krisis berada di angka US$ 18,3 miliar. Saat ini cadev di kisaran US$ 118,3 miliar.

“Kemampuan BI untuk intervensi rupiah melalui cadangan devisa jauh di atas kemampuan tahun 1996 sebelum menghadapi krisis,” ujarnya.

Meskipun beberapa indikator menunjukkan perbaikan. Tapi pemerintah harus mewaspadai defisit transaksi berjalan yang menembus 3% pada kuartal II 2018.

“Negara dengan defisit transaksi berjalan sangat rentan terpapar krisis ekonomi. Seperti Turki dan Argentina yang kedua nya memiliki defisit transaksi berjalan yang cukup lebar,” imbuh dia. (mb/detik)

Pos terkait