Wartawan Harus Baik, PSSI Sehat?

Metrobatam, Jakarta – Edy Rahmayadi belakangan jadi perbincangan hangat di media sosial. Bukan karena prestasinya sebagai Ketua Umum PSSI atau Gubernur Sumatera Utara, tapi lantaran komentar nyeleneh bin tak nyambung yang kerap mendadak viral.

Baru-baru ini, komentar Edy soal kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018 kembali memicu kontroversi. Alih-alih menjawab pertanyaan, Edy malah menuding wartawan sebagai biang kegagalan prestasi skuat Garuda.

“Wartawan harus baik. Jadi kalau wartawannya baik, timnasnya baik,” ujar Edy.

Sebagai wartawan, tentu saya berhak tersinggung. Tapi, saya memilih untuk menertawakan komentar beliau. Terlebih setelah melihat meme-meme kocak nan menghibur dari netizen zaman now.

Bacaan Lainnya

Hati saya baru benar-benar bergetar ketika ucapan Edy malah dijadikan chant atau yel-yel kelompok suporter Ultras Garuda pada laga Timnas Indonesia vs Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (25/11).

“Wartawan harus baik. Wartawan harus baik. Wartawan harus baik. Ooo… Ooo… Ooo,” begitu kira-kira chant yang digaungkan suporter tim Merah Putih di pengujung babak pertama laga tidak menentukan itu.

Aksi mereka pun mendapat aplaus dari para peliput yang berada di tribune media, termasuk saya. Sebuah pemandangan yang tak biasa terjadi di mana awak media dan suporter saling memberikan dukungan.

Kelompok suporter yang berada di tribune selatan itu memang paling aktif bernyanyi sejak awal laga. Tak jarang, nyanyian mereka diikuti suporter lain yang jumlahnya hanya berkisar 15 ribu. Termasuk yel-yel ‘Edy Out’ dan ‘Revolusi PSSI’.

Kekecewaan suporter di GBK, kemarin, mungkin mewakili jutaan suara pencinta sepak bola Indonesia. Mereka marah, geram, juga sedih melihat prestasi Timnas Indonesia yang terus melempem.

Bagaimana tidak? Sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara yang pernah tampil di Piala Dunia, meski dengan nama Hindia Belanda, Indonesia malah tak mampu berjaya di pentas Piala AFF yang kali pertama digulirkan pada 1996.

Sempat finis sebagai runner up pada edisi sebelumnya, prestasi Timnas Indonesia kembali terjun bebas di Piala AFF 2018. Skuat arahan Bima Sakti tak sanggup berbicara lebih banyak dan harus terhenti di fase grup.

Hansamu Yama Pranata dan kawan-kawan hanya mampu finis di posisi keempat atau satu tingkat di atas tim juru kunci Grup B, Timor Leste. Sementara dua tim teratas, Thailand dan Filipina, berhak melaju ke semifinal.

Ini bisa dibilang sebagai salah satu pencapaian terburuk Timnas Indonesia di pentas turnamen negara-negara ASEAN. Apalagi kali ini Indonesia sudah dipastikan angkat koper lebih awal dengan satu laga tersisa.

Maka lumrah rasanya bila media melayangkan kritik terhadap pelatih, pemain, serta PSSI sebagai induk olahraga sepak bola Indonesia. Wajar juga bila suporter melakukan kritik yang sama meski tentu saja dengan cara yang berbeda.

Pak Edy yang terhormat barangkali lupa fungsi media. Ia juga alpa jika media bukan hanya bisa menjadi alat promosi, seperti halnya ketika ia beriklan dalam bentuk pemberitaan di masa kampanye pemilihan Gubernur Sumatera Utara.

Fungsi hakiki media adalah sebagai sarana informasi yang bisa menjelma kritik terhadap kekuasaan sebagai bentuk kontrol sosial. Meski tak dimungkiri sering bertendensi negatif, idealnya kritik media bertujuan membangun demi kepentingan bersama.

Media juga bisa berperan sebagai watchdog atau anjing penjaga yang tugasnya mengawasi. Ia akan menyalak setiap ada penyelewengan kewenangan.

Biasanya produk yang dihasilkan berupa kritik dalam balutan napas jurnalistik. Nah, kritik model beginilah yang kerap membuat telinga para pemilik penguasa panas yang dalam konteks ini para pejabat PSSI.

Meski berstatus lembaga independen, PSSI termasuk kepanjangan tangan pemerintah yang tugasnya mengelola roda persepakbolaan Indonesia.

Oleh karena itu, Pak Edy mesti paham kalau media hanya menjalankan fungsi watchdog terhadap PSSI. Para pejabat PSSI harus sadar kalau mereka mewakili harapan jutaan rakyat Indonesia yang rindu prestasi.

Singkatnya, kalau tak mau dikritik, tak usah menjabat di PSSI. Kalau tak mau bekerja maksimal, jangan duduk di kursi empuk PSSI.

Maka, adalah wajar bila media melayangkan kritik terhadap kinerja PSSI era Edy Rahmayadi. Dia memang berhasil meredam konflik kepengurusan yang sempat mewabah di tubuh PSSI. Namun, ia belum sanggup untuk membuat PSSI ‘sehat’.

Penyakit menahun PSSI soal penetapan jadwal kompetisi Liga Indonesia ternyata masih belum sembuh. Liga tetap berjalan ketika Timnas Indonesia harus bertanding di Piala AFF. Situasi langka yang mungkin hanya terjadi di Indonesia.

Blunder terbesar PSSI adalah pembatalan kontrak Luis Milla beberapa hari jelang Piala AFF bergulir. Pelatih asal Spanyol itu dianggap berhasil mengubah pola permainan Garuda menjadi lebih atraktif kendati gagal memenuhi target di SEA Games dan Asian Games.

Kursi pelatih kepala pun dibebankan kepada Bima Sakti yang sebelumnya menjadi asisten. Sayang, pengalaman Bima sebagai mantan pemain Timnas Indonesia masih belum cukup untuk menghadirkan prestasi.

Selepas pertandingan terakhir di fase grup, Bima Sakti, dengan berjiwa besar menyampaikan permintaan maaf atas kegagalan di Piala AFF 2018. Ia bahkan nyaris menitikkan air mata di hadapan media.

Mantan pemain Tim Primavera ini sadar pengalamannya yang minim sebagai pelatih belum cukup untuk mempersembahkan trofi. Ia berharap semua pihak bersatu dari awal lagi untuk membangun timnas tanpa mencari kambing hitam.

Bima juga menegaskan tak pernah terganggu kritik media. Baginya, kritik dari wartawan adalah penyemangat untuk kemajuan Timnas Indonesia.

“Ke depan wartawan jangan takut untuk memberikan kritik dan masukan karena saya tahu tujuannya semua untuk kemajuan Timnas Indonesia,” ujar Bima Sakti.

Jika Bima Sakti mampu berjiwa besar dan meminta maaf kepada publik Indonesia, berbeda dengan sikap PSSI. ‘Komandan’ mereka, Edy Rahmayadi, malah melimpahkan kesalahan kepada jurnalis.

Menghambat Kebebasan Pers

Saya mencoba berpikir positif terhadap ucapan Edy Rahmayadi. Mungkin mantan Pangkostrad itu sedang pusing tujuh keliling akibat rangkap jabatan sebagai Ketum PSSI sekaligus Gubernur Sumut.

Dugaan saya diperkuat dengan komentar Edy yang pernah mengaku pusing menanggapi banyaknya pertanyaan wartawan yang dianggap memojokkan posisinya.

“Saya sedang banyak tugas, saya sedang pusing, masa kalian tanya semuanya apa gak tambah pusing saya. Karena saya bukan hanya satu pikiran saya, semua saya pikirkan,” kata Edy di Medan pada September lalu.

Pernyataan ini muncul sebagai reaksi atas komentar kontroversial dalam sebuah wawancara langsung dengan presenter Kompas TV, Aiman Wicaksono, yang bertanya soal rangkap jabatan.

“Apa urusan Anda menanyakan hal itu? Bukan hak Anda juga bertanya kepada saya,” kata Edy Rahmayadi.

Sejak saat itu, Edy Rahmayadi kerap menanyakan kehadiran jurnalis Kompas TV pada sesi jumpa pers. Entah bercanda atau serius, perilaku Edy ini berpotensi menghambat kebebasan pers.

Saya berharap Edy hanya melucu saat mengatakan prestasi timnas akan baik bila wartawannya juga baik. Sebab, kalimat ini tidak ada korelasinya sama sekali.

Sampai detik ini, saya belum benar-benar paham definisi wartawan baik yang Edy Rahmayadi maksud. Apakah mereka yang hanya bikin berita-berita manis atau yang punya relasi khusus dengan pejabat PSSI?

Barangkali, Edy Rahmayadi perlu membaca ulang sejarah tentang Tirto Adhi Soerjo, pemuda jebolan Stovia yang jadi inspirasi pers Indonesia. Coretan penanya acap kali membuat panas telinga pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.

Maka, PSSI tak perlu marah dikritik bangsa sendiri. Toh, tujuan utamanya semata untuk kemajuan sepak bola Indonesia.

Jika boleh, saya ingin balik bertanya kepada Pak Edy yang terhormat: “Kalau wartawan sudah baik, kapan PSSI bisa sehat?” (mb/detik)

Pos terkait