Ancaman bagi Majikan yang Hambat Pekerja Gunakan Hak Pilih

Metrobatam, Jakarta – Memasuki gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019, seluruh rakyat Indonesia diharapkan menggunakan hak memilih mereka untuk menentukan masa depan bangsa. Namun, ada persoalan terkait hak memilih yang akan dibutuhkan untuk mencari pengisi kursi anggota dewan dan kursi presiden tersebut yakni soal golongan putih alias golput dan keterpaksaan tak bisa memilih.

Untuk pekerja yang tak bisa menggunakan hak memilih karena pekerjaannya, maka atasan atau majikan dan pengusaha yang mempekerjakannya bisa dikenai pidana.

Koordinator Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Muhammad Afif menyatakan permasalahan itu justru lebih serius ketimbang golongan putih (golput).

“Golput lebih baik tidak diprioritaskan dan diteruskan sebagai diskursus ancaman kriminalisasi. Ada persoalan lebih serius lagi. Misalnya pekerja yang jadi tidak punya hak memilih,” kata Afif di Gedung YLBHI, Jakarta, Rabu (23/1).

Bacaan Lainnya

Ia mengatakan ancaman pidana itu diatur dalam Pasal 498 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Dalam beleid itu disebutkan majikan atau pengusaha dan atasannya yang menghalangi pekerja/buruh menyalurkan hak suaranya bisa dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.

Afif menyatakan hal ini bisa dikaitkan pidana sebab berbeda dengan pilihan seseorang termasuk pekerja ketika memilih menjadi golongan putih (golput). Golput merupakan pilihan politik masyarakat dan bisa menjadi sarana teguran bagi penguasa.

“Politik golput bagian mengingatkan (penguasa) persoalan di masyarakat. Itu sarananya,” ucapnya.

Soal golput, hal senada diungkap Direktur LBH Jakarta Arif Maulana. Ia menegaskan, “Golput adalah salah satu ekspresi bentuk kedaulatan rakyat. Warga negara menentukan sikap dan ekspresi politiknya. Memilih bukan harus satu atau dua. Opsi tidak memilih adalah pilihan dan ini bagian ekspresi kedaulatan rakyat.”

Golput, kata Arif, dilindungi konstitusi. Hal itu termaktub dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.

“Setiap orang dijamin meyakini keyakinan bahkan sikap politiknya. Memilih tidak harus dimaknai satu atau dua. Banyak opsi,” tuturnya. (mb/detik)

Pos terkait