Petisi Referendum Papua di PBB dan Posisi Tawar untuk Jakarta

Metrobatam, Jakarta – Kelompok pro kemerdekaan Papua, The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) telah menyerahkan petisi referendum kepada Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Petisi itu dinilai sebagai langkah politik untuk menguatkan posisi tawar masyarakat Papua dengan pemerintah pusat di Jakarta.

Akademisi Universitas Cenderawasih, Jayapura, Marinus Yaung mengatakan posisi masyarakat Papua dalam menuntut keadilan masih lemah saat berhadapan dengan pemerintah pusat. Sementara aparat TNI/Polri terus melakukan kekerasan di Papua.

Menurutnya jalur diplomasi internasional yang dilakukan ULMWP di bawah pimpinan Benny Wenda, merupakan langkah warga Papua untuk membangun posisi tawarnya dengan Jakarta, khususnya untuk menyelesaikan akar masalah di Papua.

“Pemerintah terus melakukan kekerasan. Orang Papua menuntut keadilan dihadapi dengan senjata, kekerasan,” ujar Marinus kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Senin (28/1).

Bacaan Lainnya

“Kami orang Papua secara moral mendukung perjuangan ULMWP untuk menaikkan posisi tawar kami ketika berhadapan dengan Jakarta,” tegasnya.

Meski demikian, secara politik Marinus belum bisa memberikan dukungan kepada ULMWP. Menurutnya, Benny Wenda harus meyakinkan orang Papua bahwa ULMWP bisa mengendalikan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) yang saat ini masih bergerak di hutan.

“Diplomasi politik itu bisa berhasil kalau mendapat dukungan masyarakat lokal Papua, terutama yang ada di hutan, TPN OPM. Kalau tidak, saya rasa akan sia-sia saja,” kata Marinus.

Dia mengatakan ada perbedaan yang tajam antarorganisasi di Papua. Perjuangan diplomasi ULMWP di luar negeri tidak mendapat dukungan dari TPN OPM. Hal ini berbeda dengan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memiliki satu komando.

Beberapa kasus penembakan di hutan yang melibatkan TPN OPM bahkan menurut Marinus, tidak ada koordinasi dengan ULMWP. Salah satunya kasus penembakan 19 pekerja di Nduga. Hal ini memunculkan keraguan bagi Marinus terkait petisi referendum Papua.

“Ini yang membuat timbul keraguan saya, benar tidak orang Papua membuat petisi untuk mendukung penentuan nasib sendiri di Papua,” katanya.

Marinus sendiri tidak menandatangani petisi tersebut. Namun dia mendapat laporan dari masyarakat bahwa ada penandatanganan petisi di beberapa kota di Papua sejak 2014.

Opsi Penyelesaian Kasus

Marinus meminta pemerintah tidak perlu panik dengan petisi yang dibawa Benny Wenda ke PBB. Menurutnya, pemerintah seharusnya serius pada penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Petisi referendum itu menurut Marinus ibarat asap, sementara apinya adalah kekerasan dan ketidakadilan di Papua.

“Presiden Jokowi harus bisa memastikan janjinya diselesaikan, komitmen untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM dan kekerasan militer di Papua harus dibuktikan,” tegasnya.

Dia berharap Jokowi bisa memerintahkan Jaksa Agung dan Komnas HAM untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Wasior dan Wamena.

Menurutnya, selama presiden belum menyelesaikan persoalan serius di Papua, maka hal itu tetap dijadikan modal politik untuk mempengaruhi opini internasional demi mendukung perjuangan Papua merdeka.

Dia menjelaskan, penyelesaian kasus di Papua bisa dilakukan melalui jalur yudisial, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maupun pendekatan kemanusiaan melalui pembangunan ekonomi lokal masyarakat Papua.

“Presiden mesti mengambil hati orang Papua. Memberdayakan ekonomi di sektor pertanian, misalnya,” kata Marinus.

Dia mengatakan warga Papua menolak pendekatan yang ditawarkan Menko Polhukam Wiranto yaitu melalui kearifan lokal, seperti bakar batu. Menurutnya, kasus pelanggaran HAM berat tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan tersebut, kecuali kasus kriminal biasa atau pelanggaran HAM ringan.

Marinus mengatakan selama pelanggaran HAM masih terjadi di Papua, maka hati orang Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia akan masih ada. Dia mengklaim masyarakat Papua masih percaya Jokowi untuk menyelesaikan masalah.

“Orang papua masih bertahan dalam rumah NKRI ini karena masih percaya dengan Jokowi,” kata Marinus.

Kemarin ULMWP mengklaim telah menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut referendum kemerdekaan Papua kepada Ketua Dewan HAM PBB, Michelle Bachelet.

“Hari ini adalah hari bersejarah bagi saya dan rakyat saya. Saya telah menyerahkan apa yang saya anggap sebagai tulang rangka rakyat Papua Barat, karena telah banyak orang yang mati terbunuh,” ucap Pemimpin ULMWP, Benny Wenda, di Genewa, Swiss, seperti dikutip Reuters pada Senin (28/1).

Sementara itu Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meyakini PBB tidak akan menggubris petisi referendum kemerdekaan Papua. “PBB pasti menghormati kedaulatan Indonesia,” ujar Moeldoko.

Moeldoko mengatakan petisi yang diserahkan oleh Pemimpin ULMWP, Benny Wenda itu tak akan berpengaruh terhadap upaya melepaskan diri Papua dari Indonesia. “Enggak, enggak (akan pengaruh),” kata dia.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga menyebut petisi tersebut bukan masalah berarti karena tak mewakili keseluruhan warga Papua Barat.

“Tidak masalah kita lebih banyak kok,” ujar Ryamizard di Gedung DPR.

Meski tak mempermasalahkan, Ryamizard tetap menekankan tidak boleh ada kelompok yang merdeka di wilayah Indonesia. Ia berkata pihak yang hendak akan merdeka harus berhadapan terlebih dahulu dengan dirinya selaku penanggungjawab pertahanan negara.

“Apun ngomong segala macem, enggak boleh merdeka, titik. Ya kalau mereka berhadapan dengan pasti menteri pertahanan dulu dong, menteri pertahanan negara,” kata Ryamizard. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait