Gus Mus, Pemilu Bukan Perang Badar

Metrobatam, Jakarta – Dalam salah satu cuitannya di Twitter dan Instagram, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) mengajak semua pihak untuk sesekali berhenti dan berpikir mengenai politik praktis, mengenai pilpres dan pileg. “Lalu rasakan betapa lapangnya dadamu”.

Tulisan itu diunggah pada 25 Agustus 2018, sebelum dua pasangan calon presiden dan wakil presiden mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Tentu bukan tanpa musabab Gus Mus mencuit seperti itu. Suasana politik di tanah air memang mulai memanas bahkan beberapa bulan sebelum pendaftaran capres-cawapres ke KPU. Hawa panas itu terutama terjadi di media sosial seperti Twitter dan Instagram hingga muncul istilah cebong dan kampret.

Dua istilah tersebut masing-masing disematkan kepada pendukung capres dan cawapres. Ironinya, para elite partai politik seperti tak berupaya untuk mengendalikan pendukung mereka. Bahkan para elite politik tak jarang larut dalam ‘pertempuran’ tak sehat tersebut.

Bacaan Lainnya

Pimpinan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin itu juga menyoroti doa Perang Badar yang disampaikan Neno Warisman pada 2 Februari lalu.

Dalam doanya dia memohon agar calon yang disokongnya dimenangkan sebagai Presiden. Dia khawatir jika kalah tak akan ada lagi yang menyembah Tuhan.

Menurut Gus Mus, suasana Pemilu di Indonesia saat ini jelas berbeda dengan Perang Badar. Pemilu adalah hajatan rutin lima tahunan yang sudah digelar di Indonesia sejak 1955. Tujuannya adalah untuk memilih pemimpin, bukan bermusuhan seperti terjadi dalam Perang Badar.

“Yang menyembah Allah itu tidak hanya di Indonesia, di Pakistan, Malaysia, Mesir, Arab Saudi dan lainnya banyak yang menyembah Tuhan,” kata Gus Mus.

Pada bagian lain, sepupu KH Abdurrahman Wahid itu juga pernah mengkritik elit PBNU yang pernah berbicara soal politik praktis di kantor ormas Islam terbesar itu. Jika pengurus PBNU ingin bicara politik, kata Gus Mus, seharusnya bicara di luar Kantor PBNU. (mb/detik)

Pos terkait