Pengamat: Hasil Survei Jangan Jadi Acuan Akhir Pemilu

Metrobatam, Jakarta – Pengamat politik Ujang Komarudin meminta pasangan calon 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak menjadikan hasil survei sebagai acuan dalam menentukan hasil akhir. Ia mengatakan banyak hasil survei yang tidak sejalan dengan fakta di lapangan.

“Survei benar, tapi jangan sampai dijadikan alat untuk mendelegitimasi bahwa nanti kok yang menang misalkan 01, lah kan yang naik 02,” ujar Ujang dalam diskusi bertema ‘Mengukur Berbagai Hasil Survei’ yang digelar Emrus Corner di Restoran Gado-Gado Boplo, Jakarta, Rabu (20/3).

Ia menuturkan ketidaksesuaian hasil survei dengan penghitungan suara bisa dilihat dalam sejumlah pemilu, salah satunya dalam Pilkada DKI Jakarta. Kala itu, ia menyebut elektabilitas Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada penghitungan suara KPU menurun drastis berbeda dengan hasil survei.

Ia menyebut penurunan elektabilitas Ahok dari prediksi lembaga survei karena terjadinya sejumlah aksi masa yang menuntutnya dipenjara karena menista agama.

Bacaan Lainnya

“Semua pengamat mengatakan bahwa Pak Ahok dipasangkan dengan sendal jepit menang. Tapi kan ada kejadian-kejadian di luar dugaan yang bisa menjadi pemicu,” ujarnya.

Sejalan, pengamat LSI Denny JA Ikrama Masloman menilai survei tidak memprediksi hasil akhir. Ia menyebut survei hanya mampu memprediksi elektabilitas pada waktu tertentu.

“Jika tidak ada kapitalisasi kampanye yang dasyat tentu tidak akan berubah suaranya,” ujar Ikrama.

Ikrama menyampaikan survei dibuat bukan untuk menyenangkan semua pihak. Ia mengambil contoh ketika LSI Denny JA memprediksi hanya ada satu kandidat yang elektabilitas di atas 50 persen dalam Pilpres 2009. Sementara, lainnya di bawah 30 persen.

Pengamat politik Emrus Sihombing menilai belum ada perubahan yang signifikan yang disajikan oleh sejumlah lembaga survei, termasuk Litbang Kompas jelang Pilpres 2019. Ia melihat perubahan elektabilitas masih dalam margin of error.

“Sesungguhnya tidak ada perubahan, naik dan turun. Masih batas margin of error,” ujar Emrus.

Emrus menjelaskan tidak adanya perubahan elektabilitas itu karena mesin politik partai yang mendukung kedua paslon belum bekerja maksimal. Ia berkata masing-masing parpol diduga memprioritaskan kemenangan di Pileg.

“Kalau secara formal tidak mungkin diganti agar elektabilitas meningkat. Secara informal gusur saja timses (parpol) diganti dengan timses yang tidak mencalonkan di legislatif,” ujarnya. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait