Analisis: Keras Kepala Prabowo dan Siasat di Balik Klaim Menang Pilpres

Metrobatam, Jakarta – Calon presiden Prabowo Subianto bersikeras mengklaim kemenangan Pilpres 2019. Terhitung sudah empat kali Prabowo mengklaim kemenangan meski mayoritas hasil hitung cepat atau quick count lembaga survei menyatakan kalah.

Prabowo pertama kali mengklaim kemenangan pada 17 April lalu bersama sejumlah petinggi Badan Pemenangan Nasional (BPN) tanpa Sandiaga Uno. Kala itu, proses penghitungan suara masih berjalan di TPS. Dia mengklaim menang merujuk data exit poll pihaknya.

Selang beberapa jam kemudian, masih di hari yang sama yakni 17 April, Prabowo kembali menyatakan diri sebagai pemenang pilpres. Prabowo merujuk exit poll timnya sendiri, tidak berkaca dari mayoritas quick count lembaga survei yang menyatakan Jokowi-Ma’ruf unggul sementara.

Sehari setelahnya pada 18 April, Prabowo kembali mendeklarasikan kemenangan. Kali ini, dia ditemani Sandiaga Uno dan sejumlah petinggi BPN. Momen deklarasi kemenangan ketiga kalinya itu diwarnai perbincangan soal raut muka lesu Sandiaga Uno di media sosial.

Bacaan Lainnya

Prabowo, bersama sejumlah petinggi BPN dan relawannya, kembali menyampaikan klaim kemenangan pada Kamis (25/4). Prabowo bersama relawan juga sempat menggelar syukuran di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Peneliti senior yang juga Dewan Pakar The Habibie Center Indria Samego tidak heran dengan sikap Mantan Danjen Kopassus tersebut. Dia mengaku tahu tabiat Prabowo sejak lama.

“Yang jelas, dia (Prabowo) keras kepala. Jadi memang watak Prabowo itu tidak sesejuk SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) terutama dalam menyampaikan pandangannya. Ceplas-ceplos begitu,” ucap Indria saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (26/4).

Indria mengaku dekat dengan petinggi-petinggi ABRI sejak 1998 silam, yakni ketika situasi politik tanah air bergejolak dengan sangat hebat.

Dia pernah memberikan masukan tentang apa yang harus dilakukan Soeharto, presiden kala itu, dalam menanggapi dinamika yang berkembang. Masukan diberikan Indria kepada SBY dalam pertemuan di Mabes ABRI, Cilangkap. Kala itu, SBY menjabat sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI berpangkat Letnan Jenderal.

Indria mengatakan Prabowo yang dia kenal memang keras kepala. Begitu keras memegang teguh apa yang diyakini. Apalagi jika ada orang lain yang mendukung pendapatnya.

“Kalau Prabowo merasa punya data akurat tapi berbeda dengan yang lain, ya 2014 dulu juga begitu kan. Yang jelas, dia keras kepala, ditambah ada provokasi yang dia percayai. Jadi dia menanggap tidak sendirian dalam memperjuangkan keyakinannya,” tutur Indria.

Menurut Indria, watak Prabowo yang keras tidak lepas dari ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo, begawan ekonomi yang beberapa kali menjadi menteri di era Orde Baru. Selain itu, Prabowo juga menikahi Siti Hediyati Hariyadi atau Titiek Soeharto.

Latar belakang keluarga, lanjut Indria, mempengaruhi karakter Prabowo. Anak seorang begawan ekonomi dan mantu orang paling berpengaruh di Era Orde Baru, Soeharto.

Jika hari ini Prabowo merasa begitu banyak kecurangan pada Pemilu 2019, wajar jika mantan Danjen Kopassus itu terlihat emosional. “Jadi dia merasa bukan orang yang patut dilecehkan,” ujar Indria.

Prabowo Bersiasat

Direktur Saiful Mujani Research Center (SMRC) Sirajuddin Abbas menganggap Prabowo sebetulnya tengah bersiasat di balik gelagatnya yang masih bersikukuh mengklaim kemenangan. Menurutnya, Prabowo sudah mengakui kemenangan Jokowi-Ma’ruf, namun ada siasat yang tengah dimainkan.

“Secara substansi, Prabowo sudah menerima kekalahan. Mereka pun rasional dan paham yang mereka lakukan saat ini tidak akan bisa mengubah keadaan,” ujar Sirajuddin.

Siasat Prabowo berkaitan dengan uang yang telah dikeluarkan selama ini. Sirajuddin menduga Prabowo berupaya mencari jalan agar pengeluaran selama Pilpres 2019 dapat tertutupi.

Langkah yang ditempuh Prabowo, lanjut Sirajuddin, yakni menaikkan daya tawar di mata lawan. Misalnya, dengan cara mengklaim kemenangan berkali-kali. Narasi menggerakkan massa atau people power juga termasuk di antaranya.

Menurut Sirajuddin, hal itu membuat Prabowo tetap mendapat respek dari pemenang. Selama itu pula, Prabowo dan orang dekatnya bernegosiasi dengan pemenang sebelum real count KPU selesai pada 22 Mei mendatang.

“Prabowo dan Sandi pasti menghabiskan biaya cukup besar untuk berkompetisi di pilpres. Tentu mereka tidak ingin yang terjadi seperti ‘the winner takes all’. Meskipun kalah, mereka tetap memiliki basis pendukung cukup besar,” ucap Sirajuddin.

“Maka tidak berlebihan jika pemenang bisa membantu mereka melakukan cost recovery, sehingga mereka tidak terlalu rugi baik secara finansial maupun sosial,” lanjutnya.

Sirajuddin yakin Prabowo dan Sandi ingin lekas mendapat konsesi dengan pihak pemenang. Menurutnya, daya tawar mereka akan semakin menurun ketika real count KPU makin memperlihatkan keunggulan Jokowi.

“Peluang keberhasilan gugatan di MK terlalu kecil. Oleh sebab itu, mereka tampaknya akan mengupayakan kesepakatan tercapai sebelum pengumuman hasil akhir,” kata Sirajuddin.

Sejak pertama kali memberikan pernyataan pers usai pemungutan suara Pilpres 2019, Prabowo sudah menyebut ada pelanggaran. Wacana people power yang diserukan kubunya juga menguat belakangan. Salah satu yang menyerukan yaitu politikus PAN, Eggi Sudjana, telah diperiksa polisi. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait