Presidential Threshold Dinilai Merusak Sistem Pemilu Serentak

Metrobatam, Jakarta – Salah satu penggagas penyelenggaraan pemilu secara serentak, Effendi Ghazali, menyatakan Pemilu 2019 hancur karena sistem ambang batas presidensial atau presidential threshold (PT).

Presidential threshold dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional.

Menurut Effendi, penerapan sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi agar pertarungan di Pilpres 2019 hanya menghadirkan dua paslon.

“Semua hancur gara-gara presidential threshold, yang lebih terlihat sebagai upaya melarang putra dan putri terbaik bangsa untuk ikut masuk dalam kompetisi pilpres. Bahkan, ada kesan ingin membatasi agar hanya terdapat satu pasangan kompetitor dan kalau bisa dicari kompetitor yang terlemah,” kata Effendi lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/4).

Bacaan Lainnya

Dia menilai penerapan sistem PT ini membuat penyelenggara, pengawas, dan pihak keamanan kehabisan waktu, tenaga, serta energi untuk menangani konflik antara dua kubu yang bertarung di Pilpres 2019.

Pasalnya, kata dia, saat ini merupakan era media sosial yang sangat brutal. Keberadaan dua pasang calon pun berpotensi melahirkan konflik tajam. Hal itu memaksa penyelenggara, pengawas, dan pihak keamanan mencurahkan perhatian untuk menangani dan menganalisis kasus berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian, serta pencemaran lain di media sosial.

Dia pun berpendapat, situasi itu akan berbeda bila pasangan capres dan cawapres yang dihadirkan di Pilpres 2019 berjumlah lima.

“Pemilu dua kubu akan menghasilkan konflik 100 persen. Lain kalau misalnya pasangan capresnya ada lima seperti 2004. Maka konflik akan terbagi menjadi bersegi lima,” ujarnya.

Effendi menuturkan pihaknya telah berulang kali mengeluarkan pernyataan di media usai UU Pemilu lahir di 2017 untuk menyarankan agar regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilu secara serentak dibatalkan.

Menurut dia, sistem PT yang ikut tertuang dalam regulasi itu telah merenggut jiwa pelaksanaan pemilu secara serentak.

“Jadi kami pun, pengaju judicial review ke MK, sudah meminta dari jauh hari agar pemilu serentak versi UU Pemilu dibatalkan saja, kembali ke pemilu seperti 2014,” ucapnya.

Berangkat dari itu, Effendi mendorong evaluasi secara menyeluruh dilakukan terhadap sistem PT. Ia juga mendorong untuk mulai mempertimbangkan penambahan masa jabatan presiden dan aturan jabatan presiden hanya boleh diemban sebanyak satu kali untuk mengantisipasi pertarungan ulang yang dapat membuka luka lama.

“Belajar dari sejarah dan pengalamannya masing-masing, maka di Korea Selatan masa jabatan presiden satu kali [selama] lima 5 tahun, di Filipina satu kali [selama] enam tahun. Sehingga tidak akan pernah ada rematch atau calon presiden yang sama bertarung kembali,” kata Effendi.

Sebelumnya, KPU menyebut ada 119 orang petugas KPPS meninggal dunia saat bertugas dalam penyelenggaraan pemilu. Selain itu, ada 548 petugas KPPS sakit yang tersebar di 25 provinsi. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait