Apa yang Terjadi Jika Kemendagri Tidak Perpanjang Izin Ormas FPI?

Metrobatam, Jakarta – Front Pembela Islam (FPI) belum mengajukan perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) organisasi kemasyarakatan (ormas) ke Kementerian Dalam Negeri. KT milik FPI akan habis masa berlakunya 20 Juni 2019 mendatang.

“Belum ada pengajuan perpanjangan,” kata Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, melalui pesan singkat, kepada BBC News Indonesia, Rabu (08/05).

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan, SKT perlu didapatkan ormas yang tidak berbadan hukum, agar terdaftar pada administrasi pemerintahan.

SKT berlaku selama lima tahun sejak ditandatangani.

Bacaan Lainnya

Imam FPI DKI Jakarta, Muhsin bin Zaid Alattas, mengatakan bahwa ormasnya akan segera mengajukan perpanjangan SKT tersebut.

“Kewajiban ormas untuk (taat) aturan-aturan yang berlaku di Indonesia, ya kita harus memperbarui,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Akan berakhirnya SKT FPI menjadi viral setelah seseorang bernama Ira Bisyir membuat petisi di laman change.org dan mengajak masyarakat menolak perpanjangan ‘izin’ FPI sebagai ormas.

Petisi tersebut ia tujukan kepada Mendagri Tjahjo Kumolo.

“Mengingat akan berakhirnya ijin organisasi FPI di Indonesia, mari kita bersama-sama menolak perpanjangan ijin mereka,” tulis akun bernama Ira di laman tersebut 6 Mei lalu.

“Karena organisasi tersebut adalah merupakan kelompok radikal, pendukung kekerasan dan pendukung HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).”

Hingga Rabu (08/05) malam, petisi tersebut telah ditandatangani 200 ribuan orang.

Apa jadinya kalau ‘izin’ FPI tak diperpanjang?

Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, menyatakan SKT ormas menjadi instrumen bagi pemerintah untuk mengawasi dan mengontrol keberadaan dan aktivitas ormas. Ia menyarankan kepada pemerintah untuk sebisa mungkin menerima pengajuan perpanjangan SKT yang diajukan.

“Pemerintah jangan konyol. Kalau dia tidak perpanjang, bagaimana cara dia mengontrol?” ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Menurut Permendagri Nomor 57 Tahun 2017, pengajuan perpanjangan tidak serta merta akan dikabulkan.

Dalam hal ini, dokumen pendaftaran yang nantinya diserahkan FPI akan diperiksa kelengkapan dan keabsahannya oleh Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, sebelum diserahkan kepada Mendagri.

Pada akhirnya, menteri yang akan memutuskan apakah SKT akan diterbitkan atau tidak. Menurut Margarito, pemerintah justru akan sulit memantau pergerakan ormas apabila pengajuan perpanjangan SKT ditolak.

Jika demikian, meski keberadaan mereka secara legal tidak diakui, bisa saja secara sosiologis kehadirannya masih ada di masyarakat.

Hal itu menjadi berisiko bila ormas tersebut merupakan ormas dengan aktivitas yang berbahaya. Pemerintah akan sulit menangani jika ormas tersebut dirasa perlu dibubarkan.

“Secara formil dia tidak ada, tetapi secara sosiologis hidup di tengah masyarakat. Bagaimana Anda membubarkannya?” papar Margarito.

Dengan tetap terdaftar sebagai ormas yang legal, Margarito menilai, pemerintah akan memiliki kesempatan untuk “mengenali” ormas tersebut, karena adanya kewajiban rutin bagi ormas untuk melaporkan aktivitas yang mereka lakukan.

Petisi ‘tak berpengaruh’

Di media sosial, SKT FPI yang hampir kedaluwarsa ditanggapi beragam oleh warganet. Pengguna Twitter dengan nama akun @AnneSerlo mencuit pertanyaan sindiran “FPI salah apa?” sambil menyertakan sejumlah foto sekelompok orang yang tengah terlibat aksi kekerasan.

Sementara Andin Andini, melalui akunnya @ariek_andini berpendapat bahwa “aktivitas FPI ada yang positif… Tapi antara yang positif sama yang bikin ribut, situasi lebih banyak yang… Ehm…”.

Soal petisi di change.org, imam FPI DKI Jakarta Muhsin bin Zaid menyatakan bahwa ia dan ormasnya tak gentar.

“Enggak (terancam), kita sudah biasa,” kata Muhsin.

“Foto-foto petisi penolakan itu kan foto-foto kejadian 10 tahun yang lalu, 15 tahun yang lalu, yang memang sudah diadili kasus itu,” ujarnya merujuk pada foto-foto aksi kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota FPI dan mengemuka kembali di jagat maya.

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis berpendapat petisi itu tak akan berpengaruh banyak terhadap keputusan Kemendagri dalam memutuskan terbit tidaknya SKT FPI.

“Sama dengan Anda dan saya. Kalau kita mau bikin petisi, bikin saja,” tuturnya.

Meski demikian, ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) PBNU, Rumadi Ahmad, memandang positif hadirnya petisi tersebut.

“Sebagai bentuk partisipasi dan kebebasan menyampaikan pendapat sih, menurut saya, bagus-bagus saja, tak ada masalah. Bahkan, menurut saya, petisi seperti ini menunjukkan soal aspirasi masyarakat yang memang perlu didengar oleh pihak-pihak yang mengambil kebijakan, terutama dalam hal ini Kemendagri,” beber Rumadi.

Yang perlu menjadi perhatian, baginya, yaitu argumen yang dikemukakan dalam petisi di mana pembuat petisi menyebut FPI sebagai kelompok radikal, pendukung aksi kekerasan dan pendukung HTI.

“Kalau saya melihat aturan-aturan yang mengatur mengenai apa sih persyaratan sebuah ormas bisa mendapatkan surat keterangan terdaftar itu, tidak ada sama sekali yang terkait dengan soal radikalisme,” katanya.

Berdasarkan Permendagri Nomor 57 Tahun 2017, syarat untuk mendapatkan SKT ormas mencakup dokumen administrasi seperti akta pendirian ormas oleh notaris dan NPWP, serta sejumlah surat pernyataan bersifat administratif dan juga rekomendasi dari sejumlah lembaga.

Berdasarkan aturan legal formal, argumentasi yang dikemukakan pencetus petisi ‘Stop Ijin FPI’ dianggap Rumadi “tidak ada dalam ketentuan pemberian Surat Keterangan Terdaftar (SKT)”.

Untuk itu, ia tidak menganggap petisi tersebut cukup ampuh untuk menyuarakan aspirasi sebagian masyarakat yang tidak simpati terhadap FPI.

“Kalau misalnya tidak suka dengan FPI, atau FPI dianggap organisasi radikal segala macam, tempuh saja melalui mekanisme pembubaran ormas,” katanya.

Pembuat Petisi Suka Maksiat

Imam FPI DKI Jakarta, Muhsin bin Zaid Alattas, mengatakan bahwa pembuat petisi “mungkin mereka-mereka yang suka dengan maksiat, artinya tidak menginginkan ada yang mengawasi atas perbuatan permaksiatan mereka”.

Ia mengklaim bahwa lebih banyak lagi masyarakat yang mendukung perpanjangan izin FPI sebagai ormas di Kemendagri.

Muhsin juga membantah tuduhan bahwa FPI mendukung radikalisme dan HTI. Ia mengatakan bahwa aksi kekerasan yang dilakukan FPI semata terjadi ketika pemerintah dianggap abai.

“Saya pikir FPI itu tidak pernah melakukan tindakan kekerasan, kecuali manakala sudah ada pembiaran dari aparat penegak hukum,” tegasnya.

Dalam situsnya, FPI menyebut diri sebagai organisasi Islam di Indonesia yang berdiri sejak 17 Agustus 1998 di Jakarta, beberapa bulan setelah Presiden Soeharto lengser.

Berbagai aksi bakti sosial dan amal FPI rutin didokumentasi dan dipublikasikan dalam situs mereka.

Di bawah komando Rizieq Shihab, FPI melakukan sweeping dan razia perbuatan yang dianggap tercela, dari praktik prostitusi hingga warung makan yang tetap beroperasi selama bulan Ramadan.

FPI dianggap memegang peran penting dalam beberapa unjuk rasa untuk menentang kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta.

Aksi Bela Islam I hingga III diinisiasi oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) yang dipimpin Rizieq.

Penolakan terhadap FPI sendiri sudah muncul berulang kali di berbagai daerah sebelum petisi ‘Stop Ijin FPI’ viral beberapa hari terakhir.

Mulai dari penolakan oleh warga dan ormas Forum Bersama Masyarakat Sunda di Purwakarta 2015 lalu hingga penolakan dari Laskar Merah Putih & Patriot Garda NKRI di Semarang pada tahun 2017. (mb/detik)

Pos terkait