BMKG Prediksi Musim Kemarau 2019 Lebih Kering dari Tahun Lalu

Metrobatam, Jakarta – Kepala Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko menyebut musim kemarau tahun ini diprediksi akan lebih kering, dan terasa panas terik dari pada tahun sebelumnya.

Ia mengatakan salah satu faktor penyebab kekeringan itu adalah akibat fenomena El Nino. El Nino merupakan fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. Dampak dari El Nino yang terjadi di sejumlah daerah Indonesia adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan.

“Fenomena El Nino bersamaan dengan musim kemarau sehingga dampak yang dirasakan adalah kemaraunya menjadi lebih kering dibanding tahun 2018,” kata Hary saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (4/7).

Namun, Hary menyatakan kekeringan yang diprediksi tahun ini tak terjadi seperti pada 2015 silam. Pada 2015 lalu, El Nino bergerak dari lemah hingga kuat sehingga membuat musim kemarau panjang. Sementara tahun ini, sambungnya, fenomena El Nino terindikasi dalam kategori lemah hingga tujuh bulan ke depan.

Bacaan Lainnya

“Dan saat ini perkembangan musim kemarau yang ada di Indonesia, daerah atau luasan wilayah indonesia yang sudah memasuki musim kemarau sekitar 37-38 persen berarti sisanya masih hujan,” ujar Hary.

Dari hasil analisis BMKG didapatkan tiga kategori adanya potensi kekeringan meteorologis yang tersebar di sejumlah wilayah yaitu Awas, Siaga, dan Waspada.

Daerah dengan potensi kekeringan kategori Awas antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, sebagian besar Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Sedangkan untuk kategori Siaga antara lain Jakarta Utara dan Banten. Kemudian untuk kategori WASPADA antara lain Aceh, Jambi, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan.

Oleh karena itu, Hary pun mengimbau kepada masyarakat agar tetap waspada dan berhati-hati terhadap kekeringan misalnya bisa berdampak pada sektor pertanian dengan sistem tadah hujan.

“Kemudian, pengurangan ketersediaan air tanah (kelangkaan air bersih) dan peningkatan potensi kemudahan terjadinya kebakaran,” ujar Hary.

Sementara itu, dalam rilis yang disampaikan pada Senin (1/7), BMKG menyanggah suhu panas yang melanda Timur Tengah dan Eropa berimbas ke Indonesia.

‘Kejadian fenomena suhu tinggi di Timur Tengah diperkirakan tidak berdampak pada wilayah Indonesia. Selain karena sistem sirkulasi udara yang menyebabkan gelombang panas di wilayah Timur Tengah dan Eropa berbeda serta tidak mengarah atau menuju langsung ke wilayah Indonesia, suhu panas yang mencapai lebih dari 50° celsius juga sangat kecil peluangnya terjadi di wilayah Indonesia,’ demikian keterangan yang diterima dari BMKG awal pekan ini.

Selain itu, berdasarkan catatan historis suhu maksimum di Indonesia belum pernah mencapai 40° celsius. Suhu tertinggi yang pernah tercatat di Indonesia adalah sebesar 39,5° C pada 27 Oktober 2015 di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Meski begitu, berdasarkan hasil simulasi proyeksi iklim multimodel menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi dengan penerapan pengendalian emisi dan teknologi hijau (skenario RCP4,5), iklim pada periode 2020-2030 mengindikasikan rata-rata suhu permukaan wilayah daratan di Indonesia akan lebih panas 0,2 – 0,3° celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu udara pada periode 2005-2015.

‘Wilayah-wilayah yang diproyeksikan akan mengalami kenaikan suhu tertinggi terjadi di sebagian Sumatera Selatan, bagian tengah Papua dan sebagian Papua Barat,’ demikian tertulis dalam keterangan tersebut.

Atas dasar itu BMKG menyatakan untuk mengantisipasi suhu udara permukaan yang semakin panas di masa yang akan datang, yang disebabkan fenomena pemanasan global, perlu adanya upaya adaptasi dan mitigasi. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *