Polemik PPDB Tahun 2019

Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ; Ilustrasi

“Satu sikap yang tak boleh ditawar soal pendidikan, bahwa pendidikan itu adalah hak segenap Anak Bangsa dan sekaligus menjadi kewajiban negara ( Pemerintah ) atas setiap warga negara”.

Pendidikan sesungguhnya merupakan hal yang paling utama dalam memajukan generasi bangsa, sehingga dalam Pembukaan UUD 1945 termaktub dengan tegas ” untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”

Pada batang tubuh UUD 1945 khususnya pada pasal 31, dengan tegas juga mengamanatkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Lebih lanjut soal pendidikan, juga diatur melalui Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam UU tersebut, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pendidikan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Bacaan Lainnya

Selain itu dijelaskan juga bahwa, Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sistem Pendidikan di Indonesia, memang telah mengalami berbagai perubahan seiring perkembangan dan kebutuhan akan pendidikan. Iklim Otonomi Daerah juga telah memberikan kewenangan kepada daerah, dimana salah satunya terkait dengan penyelenggaraan pendidikan khususnya pada tingkat pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan tingkat menengah.

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 9 ayat (3) dan pasal 11 maupun pada pasal 12 ayat (1), dengan jelas telah memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah yang salah satunya adalah urusan Pendidikan.

Pada Pasal 16 Undang Undang tersebut juga menjelaskan bahwa, kewenangan Pemerintah Pusat dalam urusan pendidikan hanya sebatas menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria. Pemerintah Pusat juga memiliki kewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan, terhadap penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah yang salah satunya adalah Pendidikan.

Pada Lampiran UU Nomor 23 Tahun 2014, juga telah diberikan batasan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dimana Pemerintah Pusat hanya berada pada batas kewenangan menetapkan standar nasional pendidikan dan pengelolaan pendidikan tinggi, sementara penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan pada tingkat usia dini, dasar dan menengah serta pendidikan khusus maupun non formal menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.

Sesuai pembagian kewenangan tersebut, muncul dibenak kita terkait Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB ) menjadi kewenangan siapa ? Jawabannya tentu tetap menjadi kewenangan dari Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara dan pengelola pendidikan. Lalu apa peran Pemerintah Pusat dalam Penerimaan Peserta Didik Baru?

Jawabannya, tentu Pemerintah Pusat hanya dalam kapasitas kebijakan yang bersifat umum baik menyangkut norma maupun standar sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional yang telah diamanahkan baik UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun sesuai Peraturan Pemerintah yang menjadi turunan dari Undang Undang tersebut.

Namun ironisnya, hal tersebut menjadi dilema pasca kebijakan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, Pemerintah Pusat telah menetapkan standar Penerimaan Peserta Didik Baru melalui Sistem Zonasi.

Sistem tersebut telah diberlakukan sejak beberapa tahun terakhir, walaupun telah dilakukan beberapa kali penyesuaian namun tetap menyisakan berbagai permasalahan. Permasalahan yang paling banyak ditemukan adalah terkait tidak sebandingnya daya tampung sekolah dengan jumlah calon peserta didik yang mendaftar, ketersediaan tenaga pendidik serta beberapa permasalahan lainnya yang menyangkut zonasi dan prestasi. Hal tersebut bahkan hampir dialami oleh semua daerah di Indonesia.

Pada Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB ) Tahun 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kemudian melakukan perubahan terhadap Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 yang diubah dengan Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019. Namun sayangnya, perubahan kebijakan tersebut belum menjadi solusi yang tepat atas permasalahan PPDB yang terjadi sebelumnya. Perubahan aturan tersebut, secara substansi hanya pada perubahan jumlah kouta untuk jalur zonasi dan jalur prestasi.

Jika pada Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018, kuota jalur zonasi sebanyak 90% dari daya tampung namun pada Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019 kuota tersebut dikurangi menjadi 80% dari daya tampung sekolah. Begitu juga hal dengan jalur prestasi, yang awalnya kuota jalur ini hanya 5% dari daya tampung namun dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019, kuota tersebut meningkat menjadi 15% dari daya tampung sekolah.

Jika kita telaah kembali prinsip penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pedomannya. Pada pasal 4 ayat (1) Undang Undang tersebut menjelaskan bahwa, Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Maka akan kita temukan beberapa hal yang sesungguhnya tidak relevan antara prinsip dasar pendidikan dengan kebijakan pendidikan dalam implementasinya.

Setidak tidaknya ada 3 prinsip dasar pendidikan yang hendaknya dipedomani dalam menentukan sebuah kebijakan ataupun standar dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketiga prinsip sebagaimana yang dimaksud pada pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tersebut adalah Prinsip Demokratis, Prinsip Keadilan dan Prinsip Non Diskriminatif. Prinsip Demokratis pada dasarnya adalah adanya persamaan hak dan kewajiban setiap warga Negara dan dalam hal ini tentunya terkait dengan pendidikan.

H. Lis Darmasyah, SH
Wali Kota Tanjungpinang periode 2013 – 2018dan istri, pernah menjabat sebagai Anggota DPRD Kepri dan saat ini aktif sebagai Sekretaris PDIP Kepri

Selanjutnya adalah Prinsip Keadilan dan Non Diskriminatif. Secara substansi, kedua prinsip ini sama halnya dengan prinsip demokratis. Jika prinsip demokratis lebih dititik beratkan pada aturan dan proses terkait persamaan hak dan kewajiban, namun prinsip keadilan dan non diskriminatif lebih dititik beratkan pada implementasi dan output dari pelaksanaan suatu proses yang dilakukan.

Artinya, kebijakan maupun pelaksanaan dari penyelenggaraan pendidikan tidak boleh menghilangkan hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan. Begitu juga halnya, tidak boleh adanya perlakuan diskriminatif terhadap siapapun untuk mendapatkan kesempatan dalam pendidikan. Hal inipun sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 5 ayat (1), yaitu setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan pada ayat (5) yaitu setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Penentuan standar kebijakan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB ) sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 maupun Nomor 20 Tahun 2019, disatu sisi memang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelolahnya. Namun, dilain sisi sesungguhnya banyak persoalan dilematis yang ikut menyertai.

Pada pasal 16 ayat (1) Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 maupun Nomor 20 Tahun 2019 tersebut menjelaskan bahwa, Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dilaksanakan melalui jalur Zonasi, Prestasi dan Perpindahan Tugas Orang Tua/Wali. Adapun untuk kuota masing masing adalah 80% untuk jalur zonasi, 15% untuk jalur prestasi dan 5% untuk jalur perpindahan tugas. Sementara jalur zonasi hanya mempertimbangkan jarak, dimana untuk pemenuhan kuota 80% tersebut harus diprioritaskan jarak yang paling dekat dengan sekolah.

Lalu bagaimana dengan mereka yang secara jarak, cukup jauh dari sekolah sementara ketersediaan sekolah yang minim tidak sebanding dengan jumlah calon peserta didik yang mendaftar ?

Tentunya pilihan bagi mereka hanya ada dua, jika ternyata mereka tidak diterima hanya karena alasan kalah jarak jika dibandingkan dengan calon peserta didik lainnya. Kedua pilihan tersebut, selain mau tidak mau terpaksa memilih Sekolah Swasta untuk dapat bersekolah dan pilihan kedua yaitu tidak sekolah. Namun hal ini tentu bukan pilihan yang diharapkan sebab akan ada pertanyaan berikutnya, apakah untuk memilih sekolah swasta tersebut didukung oleh kemampuan secara finansial ?. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak mampu, apakah harus putus sekolah atau tidak sekolah ?

H. Lis Darmansyah SH (Foto : Metrokepri)

Kita kembalikan jawaban tersebut sebagaimana diawal dikemukakan, baik dalam amanat UUD 1945 maupun terkait prinsip dasar pendidikan sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Apakah kebijakan ini sudah sesuai dengan amanat UUD 1945 dan apakah sejalan dengan prinsip demokratis, adil dan non diskriminatif ? Tentu kita semua sepakat dan mengatakan TIDAK !

Hal tersebut, belum lagi jika kita menguraikan soal Jalur Prestasi yang hanya mendapatkan kuota 15% dari daya tampung sekolah. Apalagi berdasarkan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 Tentang PPDB pada pasal 16 ayat (5), menyatakan bahwa calon peserta didik hanya dapat memilih 1 (satu) jalur dari 3 (tiga) jalur pendaftaran PPDB. Dan pada Pasal 21 ayat (2) Permendikbud tersebut menyatakan bahwa, Peserta didik yang masuk melalui jalur prestasi merupakan peserta didik yang berdomisili di luar zonasi Sekolah yang bersangkutan. Sementara Jalur Zonasi yang memiliki kuota 80% dari daya tampung sekolah, hanya mempertimbangkan jarak terdekat dari sekolah.

Jika kita telaah kembali aturan tersebut, maka kembali kita temukan beberapa hal yang bukan hanya tidak sejalan dengan prinsip dasar pendidikan, tetapi justru bertentangan dengan ketentuan perundang undangan diatasnya. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 dan Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan turunan dari pelaksanaan ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 74 ayat (4) dan pasal 82 ayat (4) PP Nomor 17 Tahun 2010 dan Pasal 68 huruf (b) PP Nomor 13 Tahun 2015, dengan jelas menyatakan bahwa Hasil Ujian Nasional merupakan dasar pertimbangan seleksi masuk pada jenjang pendidikan berikutnya.

Selain inrelevansinya antara UU dan Peraturan Pemerintah dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, diantara tugas dan kewajiban pemerintah lainnya sebagaimana yang dimaksud pada pasal 14 dan 36 ayat (1) PP Nomor 17 Tahun 2010 patut dipertanyakam.

Pada ketentuan tersebut menyatakan bahwa, Pemerintah melakukan pembinaan berkelanjutan kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mencapai prestasi puncak di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, dan internasional.

Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin peserta didik yang berprestasi dapat dibina secara berkelanjutan pada tingkatan pendidikannya jika nilai dan prestasi tersebut justru dikesampingkan dalam proses penerimaan peserta didik baru? Sementara kuota jalur prestasi hanya 15% dan itupun harus berada diluar jalur zonasi, sedangkan jalur zonasi sama sekali tidak mempertimbangkan nilai ataupun prestasi tetapi semata mata hanya soal jarak.

Kebijakan ini justru akan mengkerdilkan semangat peserta didik dalam meraih prestasi, yang muncul dibenak mereka justru “Percuma saja meraih prestasi, jika ternyata harus kalah dengan mereka yang jarak rumahnya lebih dekat dari sekolah”. Tentunya hal ini dapat menjadi preseden buruk dunia pendidikan di tanah air, jika hal ini tidak segera diantisipasi.

Provinsi Kepulauan Riau, merupakan salah satu contoh daerah yang cukup bermasalah dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2019 ini. Letak geografis Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri dari 96% lautan dan hanya 4% daratan, dengan ribuan pulau pulau yang tersebar menjadi permasalahan tersendiri di wilayah ini.

Kekurangan infrastruktur sekolah dan tenaga pendidik, serta sarana transportasi merupakan masalah krusial di Provinsi Kepulauan Riau. Belum lagi dengan jumlah calon peserta didik yang tidak merata dan sebanding dengan ketersediaan sekolah pada zonasi yang diterapkan.

Penerapan persyaratan batas usia dalam sistem PPDB khususnya bagi SMP, juga dinilai tidak relevan dengan prinsip pendidikan. Dalam ketentuan pasal 8 Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 memberikan syarat bahwa, calon peserta didik baru kelas 7 (SMP) berusia paling tinggi 15 tahun. Ketentuan ini memang bernilai positif, untuk menjamin setiap warga Negara yang dalam usia sekolah wajib bersekolah. Namun ada beberapa persoalan yang justru menjadi dilematis, khususnya bagi mereka yang berasal dari pulau pulau terpencil maupun yang pindah dari luar daerah.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa Kepulauan Riau merupakan wilayah dengan karakteristik yang berbeda dengan beberapa daerah lainnya di Indonesia. Dengan karakter wilayah yang terdiri dari pulau pulau dan permasalahan sarana pendidikan yang tidak memadai dan merata, menjadi masalah tersendiri dalam penentuan batas maksimal usia sekolah. Sebagai contoh, ada anak didik yang berada disuatu pulau dan telah lulus SD.

Namun untuk melanjutkan ke jenjang SMP terkendala oleh tidak adanya SMP diwilayah tersebut, sehingga harus keluar dari pulau tersebut untuk dapat melanjutkan pendidikan. Belum tentu pada tahun yang sama sang anak langsung melanjutkan ke SMP, terkadang karena beberapa faktor harus menunggu beberapa tahun kemudian baru melanjutkan ke jenjang SMP. Disinilah menjadi poin permasalahannya, ketika sang anak ternyata telah melewati batas usia SMP yang ditentukan.

Belum lagi terkait perpindahan orang tua dari daerah lain, seperti contoh merantau untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Terkadang sang anak yang mengikuti orang tuanya merantau, diusia 9 bahkan hampir 10 tahun baru masuk SD. Ketika tamat SD, maka usia sang anak sudah terbentur akan ketentuan batas usia maksimal bagi SMP. Sementara, bisa jadi sang anak memiliki kecerdasan tinggi bahkan prestasi namun tidak memiliki kemampuan finansial untuk melanjutkan di SMP Swasta.

Apakah sang anak, harus putus sekolah karena permasalahan tersebut?

Kota Tanjungpinang sebagai Ibukota Provinsi Kepulauan Riau, juga tidak luput dari berbagai dinamika dan permasalahan terkait sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) ini. Kebijakan terkait sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) memang bukan hal yang baru di tahun 2019, sebab kebijakan ini sudah mulai berlaku sejak tahun 2017.

Mau tidak mau, suka tidak suka maka sebuah kebijakan nasional tentunya menjadi kewajiban bagi daerah didalam melaksanakannya. Tetapi tentunya juga harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada, agar penerapan system pendidikan tidak menghilangkan hak setiap warga Negara untuk mendapatkan pendidikan secara adil dan tidak diskriminatif.

Persoalan yang sama terjadi di Kota Tanjungpinang, yaitu tidak sebandingnya ketersediaan daya tampung sekolah dengan jumlah calon peserta didik. Hal inipun terjadi pada penerapan system zonasi di tahun 2017, namun diantisipasi oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang pada saat itu. Salah satu bentuk antisipasi yang dilakukan adalah menyurati Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terkait permasalahan daya tampung sekolah yang menjadi kendala PPDB di Kota Tanjungpinang.

Akibat dari antisipasi yang dilakukan tersebut, akhirnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran. Adapun poin penting dari surat edaran tersebut, yaitu memberikan ruang kepada Pemerintah Daerah agar melakukan penyesuaian berdasarkan permasalahan didaerah masing masing terkait sistem zonasi. Atas dasar hal tersebut, maka Pemerintah Kota Tanjungpinang pada saat itu melakukan penyesuaian dengan menerapkan semi zonasi berdasarkan analisis kebutuhan dan permasalahan yang ada.

Data agregat kependudukan Kota Tanjungpinang tahun 2017, menunjukkan bahwa jumlah penduduk dengan tingkat usia sekolah antara umur 7 – 10 tahun berjumlah 14.107 orang. Sebaran penduduk usia sekolah tersebut, lebih dominan di Kecamatan Tanjungpinang Timur dengan jumlah mencapai 6.507 orang.

Sedangkan di kecamatan Tanjungpinang Barat sebanyak 2.896 orang, Tanjungpinang Kota sebanyak 1.179 orang dan untuk Kecamatan Bukit Bestari sebanyak 3.525 orang. Adapun untuk usia sekolah antara 11 – 12 tahun sejumlah 8.867, dengan sebaran terbesar juga di Kecamatan Tanjungpinang Timur yaitu sebanyak 3.961 orang. Untuk di Tanjungpinang Barat sebanyak 1.892, Tanjungpinang Kota 739 dan Kecamatan Bukit Bestari sebanyak 2.275 orang. Begitu juga halnya dengan usia antara 13 – 15 tahun, dari total 9.520 orang sebagian besar terdapat di Tanjungpinang Timur yang mencapai 4.121 orang.

Berdasarkan data agregat tersebut jika di konversikan pada penerimaan peserta didik baru baik tahun 2018 maupun 2019, dengan jelas terlihat penduduk dengan usia sekolah lebih dominan terdapat di Kecamatan Tanjungpinang Timur. Namun kondisi yang hampir sebagian besar usia sekolah berada di Tanjungpinang Timur tersebut, ternyata tidak sebanding dengan sebaran Sekolah yang ada di Kota Tanjungpinang.

Untuk Jumlah Sekolah Dasar (SD) Negeri yang ada di Kota Tanjungpinang berjumlah 54 SDN, dengan sebaran 10 SDN berada di Kecamatan Tanjungpinang Kota, 11 SDN di Tanjungpinang Barat, 17 SDN di Bukit Bestari dan hanya 16 SDN yang ada di Kecamatan Tanjungpinang Timur.

Begitu juga halnya dengan SMP Negeri hanya terdapat 17 SMPN yang ada di Kota Tanjungpinang, dimana SMPN terbanyak justru terdapat di Kecamatan Bukit Bestari yang berjumlah 6 SMPN. Sementara di Tanjungpinang Timur hanya ada 4 SMPN sama dengan yang ada di Kecamatan Tanjungpinang Barat, sedangkan di Tanjungpinang Kota terdapat 3 SMP Negeri.

Adapun jumlah Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) di Tanjungpinang berjumlah 6 SMUN, dimana 3 SMUN berada di Kecamatan Tanjungpinang Barat. Sedangkan di Bukit Bestari terdapat 2 SMUN dan di Kecamatan Tanjungpinang Kota terdapat 1 SMUN. Sementara di Kecamatan Tanjungpinang Timur yang mayoritas penduduk berada diwilayah ini, sama sekali tidak terdapat 1 pun SMU Negeri.

Berdasarkan data penduduk khususnya penduduk dengan usia sekolah yang dikemukakan diatas, jika dibandingkan dengan jumlah sekolah negeri di Kota Tanjungpinang baik tingkat SD, SMP maupun SMU jelas tidak sebanding. Penumpukan calon peserta didik baru dengan sistem zonasi akan terjadi khususnya di Kecamatan Tanjungpinang Timur, karena perbandingan antara daya tampung dengan calon peserta didik yang berada dalam satu zona jelas sangat tidak sebanding.

Hal ini yang kemudian menyebabkan banyaknya calon peserta didik yang tidak diterima, karena harus bersaing secara jarak dengan peserta didik lainnya yang berada dalam satu zona.

Melalui tulisan ini, diharapkan dapat memberikan gambaran terkait problematika yang terjadi di dunia pendidikan saat ini khususnya menyangkut kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Disatu sisi, kita semua sepakat bahwa pendidikan harusnya lebih merata dan dirasakan oleh setiap warga Negara. Namun dilain sisi, berbagai persoalan khususnya menyangkut hal hal yang dikemukakan sebelumnya tidak boleh terjadi.

Kehadiran sekolah sekolah swasta memang disatu sisi cukup membantu dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan, namun dilain sisi tidak semua memiliki kemampuan yang sama untuk menempuh pendidikan di sekolah swasta. Alhasil, timbullah ketimpangan akan kesempatan menempuh pendidikan yang notabenenya merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanah Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

Oleh karena itu, diharapkan kepada para pengambil kebijakan dinegeri ini baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, agar dapat mengambil hikmah atas semua permasalahan yang terjadi. Kedepan terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), harus dapat diselaraskan dengan kondisi yang ada. Baik itu menyangkut ketersediaan infrastruktur sekolah yang memadai, ketersediaan tenaga pendidik maupun penerapan system zonasi yang tidak kaku serta yang terpenting adalah koordinasi dengan kementerian yang terkait dengan pendidikan.

Beberapa waktu yang lalu, penulis juga menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan salah seorang pejabat dari Dirjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil diskusi tersebut, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan. Salah satu kesimpulannya bahwa, masih lemahnya koordinasi yang dilakukan oleh beberapa daerah dengan Kementerian Pendidikan terkait permasalahan yang dihadapi khususnya menyangkut PPDB.

Pada prinsipnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanyalah menentukan standar namun pengelolaan tetap menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Namun, setiap daerah tentu memiliki karakteristik dan permasalahan yang berbeda beda, sehingga sangat diperlukan adanya koordinasi kedua lembaga guna mengantisipasi berbagai permasalahan yang mungkin akan terjadi.

Paling tidak dengan data tersebut, Pemerintah sudah dapat mengetahui dan mengantisipasi sedini mungkin antara laju pertumbuhan penduduk usia sekolah, ketersediaan sekolah, karaketristik daerah dan sistem pendidikan yang diterapkan.

Penulis : H Lis Darmansyah, SH

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *