Putusan Bebas Syafruddin Dinilai Tak Sesuai Logika Hukum

Metrobatam, Jakarta – Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Dengan kata lain mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibebaskan dari segala tuntutan hukum yang menjerat dirinya.

Dalam amar putusannya, terdapat perbedaan pendapat pada majelis kasasi. Ketua majelis Salman Luthan sepakat dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Namun, anggota hakim Syamsul Rakan Chaniago memandang perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan, anggota hakim 2 Mohamad Askin memandang perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi.

“Menyatakan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya. Akan tetapi, perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,” kata Juru Bicara MA Abdullah di Kantornya, Jakarta, Selasa (9/7).

Bacaan Lainnya

Putusan ini dinilai janggal dan membuat banyak pihak kaget. Sebab ini pertama kalinya seorang tersangka atau terdakwa yang proses hukumnya ditangani KPK diputus bebas oleh hakim.

“Ini saya kira luar biasa, baru pertama kali tersangka yang ditangani KPK ini dibebaskan. Ya, kita terkejut juga,” kata Pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (10/7).

Dia mempertanyakan perbedaan pendapat di antara hakim MA yang menyebut perkara Syafruddin merupakan perbuatan administrasi dan perdata. Teruntuk perdata pendapat itu sulit diterima secara logika hukum. Pasalnya, Syafruddin saat ditetapkan tersangka oleh KPK memiliki kapasitas sebagai pejabat publik, dalam hal ini Ketua BPPN saat kasus SKL BLBI terjadi.

“Tapi kalau perdata, Syafruddin waktu itu kan sebagai Ketua BPPN. Itu kan dia sedang melaksanakan fungsi pejabat publik. Bagaimana ini hubungan keperdataan? Misalnya pinjam-meminjam, utang-piutang, kerja sama, itu dari mana (perdatanya)?” tutur dia.

Meski sulit diterima secara nalar hukum, namun Chudry tetap harus melihat secara detail pertimbangan majelis kasasi.

“Kembali lagi kita harus melihat persis pertimbangan-pertimbangan hakim itu apa?” tambahnya.

Sementara untuk administrasi, Chudry menilai perbuatan Syafruddin juga bisa dikenakan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Aturan tersebut menyebut bahwa kerugian keuangan negara disebabkan karena penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran administrasi.

“Pertimbangan hakim anggota yang menyatakan itu administrasi, kita bisa berdebat,” tukas dia.

Dia menjelaskan, putusan bebas itu di tingkat kasasi dikhawatirkan akan membuat terdakwa perkara lain di KPK ikut jejak Syafruddin untuk mengajukan kasasi di MA. Di sisi lain hakim MA juga akan memiliki keberanian memutus lepas terdakwa lantaran sudah ada yang memulainya.

“Kita khawatirnya berdampak perkara-perkara yang lain, hakim yang lain berani. Katakan setidak-tidaknya sesama hakim agung. Kalau misalnya hakim di tingkat pertama atau banding itu ya mungkin belum berani,” tutur dia.

Pun demikian Chudry khawatir masalah ini merembet ke yang lain karena KPK masih melakukan penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi SKL BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Tak menutup kemungkinan pasangan suami istri itu bebas di tingkat kasasi nantinya.

“Dampaknya orang-orang yang, katakanlah kayak Sjamsul dan Itjih itu nggak bisa dikenakan ini (tipikor),” ucap dia.

Senada, pakar hukum dari Universitas Parahyangan Agustinus Pohan berpendapat, dibebaskannya Syafruddin oleh MA akan menjadi pintu masuk untuk kasus-kasus lain. Namun ia tidak ingin terburu-buru menganalisa putusan lepas tersebut lantaran MA belum memberi informasi pertimbangan lengkap dari hakim yang menyidangkan.

“Tentu saya menduga ini menjadi pintu masuk untuk kasus-kasus lain. Dengan ini dibebaskan tentu akan berpengaruh. Tetapi, saya terus terang tidak tahu persis apa pertimbangan dibebaskannya,” ujarnya.

Sementara itu, eks pimpinan KPK Mochammad Jasin mengungkapkan putusan lepas Syafruddin harus menjadi perhatian khusus bagi internal KPK dalam menangani suatu kasus. Sebab, hal itu telah menjadi preseden buruk bagi ‘wajah’ lembaga antirasuah itu.

Dia pun meminta agar gelar perkara yang dilakukan di internal KPK sebelum menentukan calon tersangka ke depannya harus dapat lebih meyakinkan, terutama dari sisi perbuatan melawan hukum calon tersangka.

“Jadi, gelar kasus-gelar kasus yang diadakan di internal KPK itu harus firm betul bahwa yang bersangkutan itu memang bersalah. Mungkin itu bagi penyelidik dan penyidik,” kata Jasin ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (10/7).

Lebih lanjut, Jasin juga meminta agar jaksa penuntut umum KPK dapat menyusun dokumen penuntutan disertai bukti kuat untuk meyakinkan di persidangan bahwa terdakwa memang melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.

“Dan bagi JPU, harus membuat pemberkasan-pemberkasan yang memang betul-betul firm. Bisa meyakinkan hakim bahwa yang terdakwa itu melakukan suatu tindak pidana kejahatan korupsi,” pungkas Jasin. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *