KH Said Aqil Siroj Bicara Dakwah Nabi dan Wali hingga NKRI Syariah

Metrobatam, Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Dr KH Said Aqil Siroj menyatakan Rasulullah senantiasa berdakwah dengan damai dan santun. Juga tidak membebani atau menyakiti orang lain.

“Ajaklah umat manusia untuk mengikuti jalan Tuhanmu, dengan bijak, arif, santun, ramah, dan fleksibel,” kata Kiai Said kepada Tim Blak blakan detikcom.

Strategi dakwah semacam itu yang kemudian juga dikembangkan para sahabat Nabi, para wali, dan kiai. Ia mencontohkan Menara dan kubah di masjid-masjid merupakan hasil adaptasi para sahabat dalam berdakwah. Menara yang merupakan tempat menyimpan api untuk disembah kaum majusi di Persia, secara perlahan apinya disingkirkan. Menara dibiarkan dan berganti fungsi menjadi tempat pengeras suara. Begitu pun dengan kubah yang semula menjadi ciri khas gereja-gereja, istana, dan perkantoran, karena keindahannya lalu diadopsi ke dalam arsitektur masjid.

Kearifan para sahabat itu dilanjutkan oleh para Wali yang menyebarkan Islam di Jawa. Mereka tidak konfrontatif, sebaliknya secara perlahan melakukan asimilasi dengan budaya dan tradisi lokal sudah lebih dulu berkembang di tanah Jawa. Misalnya keyakinan masyarakat bahwa ketika seseorang meninggal, arwahnya masih bersemayam selama tujuh hari di rumahnya. Para tetangga dan kerabatnya lantas menemani keluarga yang ditinggal dengan begadang sambil bermain gaple, judi, dan lainnya.

Bacaan Lainnya

Para wali tidak lantas mencela dan serta-merta melarang kebiasaan semacam itu. Tapi mengubahnya secara perlahan. “Kebiasaan main gaple atau judi, diganti dengan membaca doa, tahlil, atau yasinan,” tutur Kiai Said.

Terkait wacana NKRI Syariah yang dilontarkan sekelompok orang dalam Ijtima Ulama beberapa waktu lalu, Sai Aqil mempertanyakan kredibilitas mereka. Sebab bagi doktor bidang Aqidah dan Firasat Islam dari University Umm al-Qura, Saudi Arabia itu, NKRI dengan dasar negaranya Pancasila sudah final.

Menurut kiai kelahiran Cirebon, 3 Juli 1953 itu, dalam Muktamar pada 1936 di Banjarmasin, para kiai NU sepakat bahwa Negara Indonesia adalah Darussalam atau National State (Negara Kebangsaan).

Selain itu, pendiri NU KH Hasyim Asy’ari juga menyetujui penghapusan Piagam Jakarta. “Bagi para kiai, persatuan lebih utama. Setelah itu baru memikirkan soal syariat, undang-undang,” ujarnya.

Rujukannya adalah, saat hijrah ke Medinah, Nabi Muhammad tidak mendirikan Negara Islam atau Negara Arab. “Negara Medinah yang dibentuk Nabi Muhammad itu punya visi-misi keadilan, kebersamaan, solidaritas antarpenduduk tanpa pandang bulu,” papar Said Aqil.

Dia lantas mengingatkan mereka yang masih berupaya mendirikan Negara Islam atau Syariah untuk berkaca ke negara-negara di Timur Tengah yang hingga sekarang masih dilanda perang saudara. “Apa artinya kita bicara syariah, bicara Islam, tapi negaranya perang saudara. Apa kita mau seperti di Afghanistan, Suriah, Iraq?” tandas penulis buku

“Islam Kebangsaan, Fiqh Demokratik Kaum Santri” dan “Berkah Islam Indonesia: Jalan Dakwah Rahmatan Lil’̄alam̄in’ itu. (mb/detik)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *