RUU KUHP Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan, Limit 40 Hari Jadi Sorotan

Metrobatam, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merespons Rancangan Undang-Undang KUHP yang membolehkan aborsi untuk korban pemerkosaan. Ide dasar itu sudah diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah, namun aborsi untuk korban perkosaan punya batas waktu terlalu singkat, yakni 40 hari.

“Prinsipnya, Indonesia sudah melegalkan aborsi untuk korban perkosaan. Sayangnya, ini tidak bisa dilaksanakan karena korban pemerkosaan atau kekerasan seksual rata-rata mengetahui kehamilannya di atas 40 hari,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, kepada wartawan, Selasa (3/9/2019).

Selain dalam RUU KUHP, aborsi untuk korban perkosaan diatur dalam UU Kesehatan jo Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014. Dalam PP itu diatur, pengguguran kandungan bisa dilakukan sepanjang ada alasan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan. Aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

“Limit 40 hari itu berasal dari pemahaman keagamaan bahwa sebelum 40 hari, nyawa belum ditiupkan. Tapi umumnya, korban pemerkosaan mengetahui bahwa dia hamil saat usia kehamilannya sudah lebih dari 40 hari,” kata Budi.

Bacaan Lainnya

Secara psikologis, korban pemerkosaan punya problem menghadapi masalahnya. Mereka menyimpan pengalaman pahit dalam waktu yang cukup lama. Dalam kondisi itu, melangkah untuk tes kehamilan dan kesehatan bukanlah langkah yang sederhana bagi mereka. Sebagai mantan konselor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Budi sering menangani korban pemerkosaan yang mengalami trauma.

“Rata-rata korban pemerkosaan yang melanjutkan kehamilannya (sampai melahirkan) karena terpaksa itu 90% lebih, itu berdasarkan pengalaman saya sebagai konsuler di PKBI DIY,” kata dia.

Problemnya, hingga kini belum ada peraturan turunan dari PP yang mengatur secara teknis aborsi untuk korban pemerkosaan. Dokter-dokter tidak berani mengaborsi korban pemerkosaan yang sudah hamil melampaui limit 40 hari masa kehamilan.

“Aborsi itu pilihan korban. Kalau korban memilih itu, negara idealnya memfasilitasi, termasuk bagian dari solusi dan hak korban,” kata Budi.

Dia tak ingin publik mempertentangkan antara hak korban pemerkosaan dengan hak hidup si janin. Soalnya, kata dia, banyak korban pemerkosaan menyimpan dendam dan trauma yang tak baik bagi masa depan anak. “Jangan dikonfrontasikan antara hak perempuan dengan hak anak,” kata dia.

Diberitakan sebelumnya, RUU KUHP tetap melarang aborsi dan dimasukkan sebagai tindak pidana kejahatan. Namun sifat melawan hukumnya akan luntur apabila yang diaborsi adalah korban pemerkosaan.

“Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana,” ujar pasal 471 ayat 3 dalam RUU KUHP. (mb/detik)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *