Yenny Wahid dan Benny Wenda Terlibat Debat Sengit soal Papua

Metrobatam, Jakarta – Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, terlibat debat panas dengan tokoh separatis Papua Benny Wenda. Yenny menekankan dialog, sedangkan Benny ngotot ingin merdeka.

Debat itu terjadi di acara The Stream, Al Jazeera, yang diunggah di YouTube pada 5 September 2019, seperti dilansir detikcom, Senin (8/9/2019).

Benny bicara bahwa Indonesia telah menduduki Papua yang telah dijanjikan kemerdekaan oleh Belanda sejak 1961. Menurutnya, Indonesia tak punya hak untuk menduduki Papua pada saat itu. Benny juga menambahkan soal perbedaan antara Papua dan wilayah lain di Indonesia sebagai alasan memisahkan diri.

“Kami telah terpisah, kami berbeda, secara geografis, budaya, bahasa, kami tak pernah menjadi bagian Indonesia. Itulah kenapa mereka memanggil kami ‘monyet’,” kata Benny, merujuk pada insiden ujaran bernada rasisme di Surabaya pada pertengahan Agustus lalu.

Bacaan Lainnya

Yenny menyatakan keragaman suku bukan berarti halangan untuk bisa bersatu dalam bingkai Indonesia. Hidup bersama bisa dibina lewat proses politik yang baik.

“Beragamnya kelompok etnis bukan berarti kita tidak bisa hidup dalam harmoni. Yang kita butuhkan adalah proses politik. Ambil contoh Amerika Serikat, ada banyak orang dari banyak etnis dan latar belakang, namun mereka mampu hidup koeksis secara damai,” kata Yenny.

Benny kemudian mengklaim 500 ribu orang di Papua telah dibunuh sejak 1963. Hingga kini, menurut Benny, aksi kekerasan terus berlangsung, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, hingga penahanan. Pembawa acara Al Jazeera di tayangan ini, Femi Oke, kemudian meminta tanggapan Yenny, apakah benar bahwa Indonesia tak punya hak mengklaim Papua sebagai bagian dari wilayahnya sebagaimana ditegaskan Benny.

“Perjanjian New York (1962) yang disebut Benny, kemudian tahun 1969 (Penentuan Pendapat Rakyat), telah memberikan Papua ke Indonesia. Papua adalah bagian dari Indonesia,” kata Yenny.

Timpal-menimpal dan memotong pembicaraan terjadi beberapa kali. Yenny menjelaskan masalah di Papua disebabkan isu pembangunan, isu transparansi, dan pemerintahan yang tidak baik. Otonomi khusus yang diberikan Indonesia kepada Papua belum dijalankan dengan sempurna, sehingga pembangunan juga tidak maksimal.

“Papua tidak meminta pembangunan, Papua minta penentuan nasib sendiri,” ujar Benny merespons Yenny.

Yenny juga menanggapi klaim Benny perihal ratusan ribu orang yang menjadi korban kekerasan di Papua selama puluhan tahun. Yenny memahami ada lingkaran kekerasan yang terjadi di Papua hingga saat ini.

“Namun itu bukan selalu dilakukan oleh Indonesia, tapi juga oleh pihak pergerakan Papua Merdeka (kelompok kriminal sipil bersenjata Papua/KKSB),” kata Yenny.

Mewujudkan Perdamaian

Saling sergah terjadi menyoroti kondisi di Papua. Bila ingin perdamaian terwujud, referendum harus dilakukan. Kemudian Femi Oke selaku pembawa acara bertanya ke Yenny soal referendum sebagai syarat perdamaian. Yenny mengetengahkan semua warga Indonesia bersimpati atas kekecewaan warga Papua terhadap umpatan bernada rasisme di Surabaya. Kini yang diperlukan untuk mewujudkan damai adalah dialog.

“Ini adalah proses yang kami terus dorong, yakni lebih banyak dialog, lebih banyak mendengar satu dan lainnya. Dasar pemikiran bersama yang lebih baik bagi saya dan Benny bahwa kami berdua ingin kondisi yang lebih baik untuk orang Papua, kami sama-sama ingin kesejahteraan untuk orang Papua, kami sama-sama ingin demokrasi untuk Papua. Caranya adalah mendengarkan satu sama lain,” tutur Yenny.

Benny terus mengungkit pokok pikiran terkait insiden di Surabaya yang berisi umpatan bernada rasisme itu. Kemudian Al Jazeera menayangkan video pernyataan Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo yang mendesak Indonesia membawa kasus Papua ke PBB agar PBB mensupervisi referendum Papua.

Di akhir acara, Yenny kembali menegaskan poin soal kekerasan di Papua. Masalah ini sudah berlangsung lama tapi tak melulu dilakukan oleh militer Indonesia.

“Salah satu problem di papua adalah lingkaran kekerasan yang terjadi sekarang. Bukan saja oleh militer Indonesia, tapi juga dilakukan oleh sipil bersenjata di sana, yakni kelompok pro-kemerdekaan. Banyak penduduk sipil terbunuh. Juga ada kasus kekerasan antar-suku di sana. Kita mencoba memahami konflik Papua. Papua sangat beragam. Ada sekitar 157 suku di sana dan mereka punya bahasa dan adat masing-masing,” tutur Yenny di pengujung acara. (mb/detik)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *