Tokoh Lintas Agama: Umat Harus Tolak Revisi UU KPK

Metrobatam, Jakarta – Lembaga keumatan lintas agama menyebut pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berlangsung sangat sistematis. Hal itu dilihat dari nama calon pimpinan KPK 2019-2023 yang terbukti bermasalah hingga Revisi Undang-undang KPK (UU KPK) yang mulai menggaung sejak 2010.

Mereka memandang Revisi Undang-undang KPK yang tengah bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini terkesan dipaksakan. Sebab, RUU tersebut tidak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Apalagi, revisi UU KPK sempat ditunda oleh Presiden Jokowi di awal tahun 2016.

“Menyerukan pada umat bahwa Revisi UU KPK ini harus ditolak, harus digaungkan,” kata Ubaidillah dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9).

“Bahwa kita semua tahu, kami dari umat Konghucu Indonesia mengimbau untuk senantiasa mendukung KPK dan menolak revisi UU KPK yang melemahkan KPK,” tambah Peter Lesmana dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).

Bacaan Lainnya

Sejumlah poin yang mereka soroti dalam draf RUU KPK di antaranya seperti pembatasan penyelidik dan penyidik yang hanya dari Polri, Kejaksaan, dan PPNS; pembentukan dewan pengawas (Dewas); dan penghentian penyidikan terhadap kasus yang tidak selesai dalam kurun waktu satu tahun.

Teruntuk dewas, mereka mengaku keberatan karena itu merupakan lembaga nonstruktural dengan peran yang sangat menentukan.

Ada pun tugas dan wewenang dewas sebagaimana termuat dalam Pasal 37B draf RUU KPK seperti memberi izin atau tidak untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan; menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai KPK; dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK.

Kemudian melakukan evaluasi kinerja Pimpinan KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun; serta menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang KPK.

Mereka lantas mendesak Presiden Jokowi agar tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR sebagai tindak lanjut pembentukan RUU KPK sehingga pembahasan berhenti. Sementara untuk DPR, mereka meminta untuk berhenti melakukan tindakan yang mendukung pelemahan pemberantasan korupsi, termasuk KPK di dalamnya.

“Masyarakat untuk menyuarakan dan menghadang pelemahan pemberantasan korupsi,” tandas mereka.

Forum kelembagaan lintas agama ini terdiri dari Lakpesdam NU, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Paritas Institut, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).

Bikin Anggota DPR Kebal Hukum

Direktur Democracy and Elektoral Empowerment Partnership (DEEP) Yusfitriadi menyebutkan rencana revisi UU KPK akan membuat para anggota DPR menjadi kebal hukum. Menurutnya, anggota Dewan kerap tersandung kasus korupsi.

“Seakan-akan anggota DPR terpilih itu kebal hukum. Karena memang nyaris sedikit kasus lain yang menimpa anggota legislatif, kebanyakan memang kasus korupsi,” ujar Yusfritriadi kepada wartawan di Bogor, seperti dikutip Antara, Selasa (10/9/2019).

Yusfitriadi menuturkan revisi UU KPK menjadi jalan aman bagi anggota Dewan yang gagal terpilih. Upaya revisi undang-undang dianggapnya jadi jalan terakhir agar kasus hukumnya lepas setelah purnajabatan.

“Ada kekhawatiran, kenapa ini (revisi UU KPK) didorong anggota DPR lama, karena mereka itu punya banyak masalah. Sehingga ketika mereka tidak punya kekuasaan akan sangat mudah dilacak KPK karena sudah tidak punya pengaruh lagi,” katanya.

Sementara itu, Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia mengaku ingin bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai rencana revisi UU KPK. Ketua Kopel Indonesia Anwar Razak mengatakan pihaknya akan menyampaikan keberatan yang menurutnya juga dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia mengenai rencana revisi UU KPK.

“Sebenarnya kita mendesak DPR RI. Tapi, jika dilihat posisi draf ini mesti ada persetujuan presiden. Maka presiden punya power untuk menghentikan. Kita akan melihat, apakah bisa bertemu langsung dan minta langsung untuk bertemu,” ujar Anwar. (mb/detik)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *