Pengamat Anggap Revisi UU Perlu Supaya KPK Tak ‘Membabi Buta’

Metrobatam, Jakarta – Proses revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini kembali menjadi perdebatan karena diduga hendak melemahkan wewenang lembaga penegak hukum itu. Namun, Forum Lintas Hukum Indonesia (FLHI) justru mendukung dengan alasan supaya KPK tidak menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugasnya.

“Itu salah satu gambaran UU 30 Tahun 2002 dan sudah saatnya diubah karena ada dugaan abuse of power. Ada kewenangan hukum yang melangkahi hak-hak dasar seseorang,” kata Sekretaris FLHI, Serfasius Serbaya Manek, Minggu (15/9).

Serfasius mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk tetap melanjutkan revisi itu. Dia beralasan UU KPK yang sudah berusia 17 tahun tidak menghormati hak-hak hukum terduga pelaku tindak pidana korupsi.

Hal itu dianggap bertentangan dengan praktik hukum pidana yang berlaku di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Bacaan Lainnya

Serfasius mencontohkan, UU tersebut tidak mencantumkan mekanisme Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), sehingga KPK seolah-olah melangkahi azas praduga tak bersalah yang semestinya diemban tersangka kasus pidana. Bahkan, jika tersangka terbukti tak melakukan korupsi, barang bukti yang sudah disita pun tak bisa dipulihkan secara perdata.

Tak hanya itu, UU yang berlaku saat ini pun tak mengatur manajemen penanganan perkara. Sehingga, dari segi hukum acara, manajemen penanganan perkara oleh KPK terkesan eksklusif.

Di dalam aturan hukum formil, pengacara bisa memeriksa hak-hak klien yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Namun, karena UU itu tak mengatur mekanismenya, maka KPK membatasi informasi perkembangan suatu kasus.

“Ini kan pelanggaran hak, padahal seharusnya pengacara bisa mendapatkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP),” imbuh dia.

Sementara itu, anggota FLHI yang juga mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Chairul Imam, mengatakan bahwa ketiadaan beberapa ketentuan hukum pidana di dalam UU KPK justru membuat aturan tersebut inkonsisten. Tersangka seolah-olah tidak memiliki kepastian hukum, padahal pasal 5 UU tersebut mengatakan KPK harus berazaskan kepastian hukum di dalam menjalankan tugas dan wewenang.

“Jadi bagi kami, UU itu perlu direvisi karena banyak yang hal-hal tercecer yang belum dimasukkan ke dalamnya. Banyak hal-hal yang terlewatkan, sementara UU ini sudah ada selama 17 tahun lamanya,” imbuh Chairul.

Ia juga sepakat bahwa hal tersebut bisa bikin KPK membabi buta dalam menangani tindak pidana korupsi. Maka dari itu, selain penyesuaian dengan ketentuan pidana pada umumnya, ia juga menilai kehadiran badan yang mengawasi KPK adalah sesuatu yang krusial.

Apalagi menurutnya, kehadiran badan pengawas di komisi anti rasuah bukan hal baru di negara-negara lain. Dalam hal ini, ia mencontohkan The Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hong Kong.

Aktivitas penindakan korupsi memang diawasi langsung oleh Pemimpin Eksekutif Hong Kong, tetapi pemimpin Hong Kong tak bisa mengintervensi kasus-kasus pidana yang ditangani oleh ICAC.

Sementara itu, otoritas pemberantasan korupsi di Filipina, Tanodbayan ng Pilipinas, juga diawasi oleh presiden. Namun, mereka bergerak secara independen di dalam menyelidiki tindak pidana korupsi di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

“Di negara-negara lain juga ada pengawasnya, jadi ada studi kasusnya, Tapi memang sebaiknya revisi ini perlu dilakukan kajian secara matang,” pungkas dia. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *