Walhi Kritik Tuntutan 61 Tokoh Papua ke Jokowi

Metrobatam, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan 61 tokoh Papua yang menemui Presiden Joko Widodo tidak memahami masalah mendasar masyarakat Papua.

Direktur Walhi Papua, Aiesh Rumbekwan, mengatakan para tokoh itu mengusulkan hal baru tetapi tidak menyinggung kebutuhan masyarakat yang mendasar, demi kepentingan pribadi, dan golongan tertentu.

“Walhi memang sebenarnya membaca dari media bahwa ada sekelompok orang-orang yang bertemu dengan presiden. Dari situ, poin-poin yang diusulkan ini sebenarnya jauh dari apa yang menurut kami penting,” ujar Aiesh kepada CNNIndonesia.com, Minggu (15/9).

Belum ada komentar dari sejumlah tokoh Papua yang hadir dalam pertemuan dengan Jokowi terkait tudingan Walhi.

Bacaan Lainnya

Aiesh menuturkan para tokoh Papua yang menemui Jokowi seharusnya meminta penyelesaian berbagai persoalan hak asasi manusia dengan baik dan bijaksana oleh pemerintah. Di sisi lain, klaim Aiesh, Walhi Papua berulang kali telah menyampaikan bahwa kondisi masyarakat adat dan sumber daya alam Papua terus mengalami ancaman.

“Ada begitu banyak masyarakat adat yang tergusur dari ruang hidupnya. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi catatan para tokoh ikut menyelesaikan,” ujarnya.

Aiesh juga menyesalkan 61 tokoh masyarakat itu tidak menyinggung persoalan lingkungan hidup. Dia mengatakan persoalan lingkungan adalah hal yang mendesak.

Aiesh mengatakan ada banyak kerusakan lingkungan di Papua mengakibatkan bencana ekologis, pencemaran lingkungan dan hilangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan.

“Ini harus menjadi mandat sebagai seorang tokoh guna memberi rasa aman kepada rakyatnya,” ujar Aiesh.

Aiesh juga mengaku kecewa karena tidak ada satu tokoh Papua pun yang membahas langkah mitigasi dan adaptasi ancaman perubahan iklim. Padahal, ia berkata kenaikan muka air laut akan berdampak terhadap mereka yang hidup di daerah pesisir.

Sedangkan pemanasan global akan memicu kekeringan, kelangkaan air, kelaparan dan sakit penyakit.

“Para tokoh harus ikut terlibat untuk menahan suhu bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat Celsius, sehingga dapat mencegah ancaman kekeringan dan lain-lain yang telah disebutkan,” ujarnya.

Persoalan di Papua

Aiesh menuturkan pihaknya mencatat masih banyak kasus di Papua yang belum diselesaikan oleh pemerintah. Pertama, ia berkata tentang Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) sebagai pedoman dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Tanah Papua.

Ia menyebut ketiadaan NSPK membuat Perdasus 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua tidak optimal dijalankan. Padahal Perdasus ini mengatur hak atas hutan dan hak atas pengelolaannya, demi memberi kesejahteraan bagi orang Papua sebagai pemilik hutan yang sah.

Di tengah kondisi itu, Aiesh menyampaikan pemerintah baik pusat KLHK maupun Dinas Kehutanan Papua memberikan izin pengelolaan hutan kepada investor besar yang bukan orang asli Papua. Hal itu, lanjut dia, ditandai dengan gencarnya pemanfaatan hasil hutan kayu yang secara sepihak di eksploitasi oleh pengusaha non Papua.

Bahkan ia menyebut kegiatan itu dilakukan secara ilegal dengan dukungan oknum pejabat daerah.

“Ekspansi industri ekstraktif melalui investasi yang didukung oleh pemerintah pusat dan daerah di bidang kehutanan terus menguasai lahan-lahan serta hutan masyarakat adat (OAP) dipandang hanya sebagai komoditi, tanpa ada jaminan terhadap ruang kelola masyarakat adat berdasar kekayaan dan pengetahuan lokal atau kearifan lokal orang asli Papua,” ujarnya.

Lebih lanjut, Aies membeberkan konflik yang melibatkan masyarakat adat terjadi karena korporasi dan pemerintah bekerja sama. Ia berkata kedua belah pihak memiliki ambisi, terutama investasi tanpa menghargai nilai dan norma budaya warga Papua.

Di sisi lain, Aiesh mempertanyakan pemerintahan Jokowi yang mengklaim sangat memberikan perhatian bagi perubahan di Papua. Ia menilai pemerintah Jokowi justru sebaliknya karena mengeluarkan kebijakan yang tidak didasarkan atas kebutuhan masyarakat asli Papua, dan mereduksi kewenangan pemerintah daerah yang diatur dalam UU Otonomi Khusus.

“Walau terlihat melanggar, namun pelaksanaan pemerintah pusat ini terus digenjot pelaksanaannya dengan pandangan akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Pandangan ini memberi makna, seakan masyarakat adat Papua tidak mampu atau bodoh,” ujarnya.

“Argumentasi pemerintah selalu bertumpu pada soal keuangan (Dana Otsus) yang diberikan ke pemerintah provinsi Papua. Sementara pengelolaan sumber daya alam tidak diberi ruang bagi rakyat Papua dan cenderung terjadi perampasan,” ujar Aiesh.

Apa yang dialami oleh masyarakat Papua itu, Aiesh menilai hanya sebagian dari kejahatan korporasi, dan inkonsisten pemerintah terhadap penyelesaian pelanggaran HAM dan pemajuannya, termasuk akses pengelolaan SDA.

Terkait persoalan itu, Aiesh menyebut pihaknya menegaskan para tokoh yang mengatasnamakan masyarakat Papua untuk segera mengkaji kembali usulan yang sudah disampaikan kepada Jokowi, dan mengutamakan hal-hal mendasar termasuk menyikapi perubahan iklim dan pemanasan global yang saat ini sedang terjadi.

“Menegaskan bahwa negara segera hadir menyelesaikan persoalan HAM di tanah Papua, termasuk memberi akses kelola sumber daya alam (hutan), kepada masyarakat,” ujar Aiesh.

Selain itu, Aies mengimbau pemerintah segera menghentikan izin ekspansi industri ekstraktif yang telah mengorbankan Orang Asli Papua dan perampasan tanah tanpa ada penyelesaian secara bijaksana.

“Bahwa pemerintah pusat segera menghentikan untuk menerima kepentingan kelompok atau individu-individu tertentu tanpa melalui kesepakatan Orang Asli Papua dan pemerintah daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, DPRP dan DPRPB, serta MRP dan MRPB,” ujarnya.

Lebih dari itu, ia meminta para tokoh yang menyebut diri sebagai tokoh Papua membuka mata dan melihat hal-hal mendasar, termasuk proteksi masyarakat adat Papua dari tindakan, perlakuan rasis, dan persoalan pelanggaran HAM sebagai upaya menyelesaikan akar masalah di tanah Papua.

“Bukan mengedepankan hal-hal yang jauh dari kebutuhan masyarakat adat Papua yang cenderung menimbulkan konflik, tanpa ada niat baik untuk menghentikan jatuhnya korban jiwa Orang Asli Papua di atas tanahnya,” ujar Aiesh. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *