PDIP Tolak Wacana Presiden Kembali Dipilih MPR

Metrobatam, Jakarta – Politikus PDI Perjuangan Aria Bima menolak wacana dikembalikannya pemilihan presiden dan wakil presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena sama saja dengan kemunduran dalam proses berdemokrasi.

“Saya kira tidak ada yang setuju termasuk PDIP. Tidak ada yang mewacanakan itu, kok tiba-tiba muncul wacana itu,” katanya, di sela acara Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan, di Balai Rakyat, Telukan, Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Minggu.

Ia mengatakan plus minus dari wacana tersebut harus dievaluasi terlebih dahulu. Menurut dia, bangsa Indonesia harus belajar membangun konsolidasi demokrasi.

“Jangan mundur, bagi saya pemilihan presiden lewat MPR saya kira kemunduran dalam proses berdemokrasi, tetapi bukan berarti kita sudah maju. Kekurangan dalam pilpres kemarin, misalnya money politic yang terjadi maupun konflik sosial yang membuat kekhawatiran kita sehingga potensi demokrasi tidak menjadi penguat kebangsaan,” katanya.

Bacaan Lainnya

Bahkan, ia menilai proses demokrasi pada momentum Pemilihan Presiden 2019 mengalami kemunduran yang luar biasa.

“Kebangsaan kita terusik, solidaritas sosial kita terusik. Faktor keagamaan, faktor primordialisme menjadi komoditas dalam proses kita berdemokrasi. Itu salah besar, sangat mundur kita. Itu mungkin alasan yang dianggap kita tidak siap dalam pemilihan langsung kemarin,” katanya pula.

Pada saat itu, katanya lagi, seolah bangsa Indonesia pecah dengan istilah cebong dan kampretnya. Oleh karena itu, dia menilai fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi sangat penting.

“Seperti misalnya media sosial dengan konten kebencian harus ditindak tegas oleh Bawaslu. Pada prinsipnya bangsa Indonesia harus tetap menerapkan pemilihan langsung tetapi aturan diperketat. Caranya tidak barbarian karena tujuan kita bukan berdemokrasi tetapi berbangsa dan bernegara dalam negara kesatuan dengan instrumen demokrasi,” katanya lagi.

Penambahan Masa Jabatan Presiden Harus Ditolak

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon ketika menanggapi munculnya wacana penambahan masa jabatan presiden Indonesia dalam rencana amandemen terbatas UUD 1945 mengatakan, ide itu harus ditolak.

“Ide penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode muncul dalam wacana amandemen UUD 1945. Meski pimpinan MPR mengatakan ini bagian dari aspirasi publik yang tak boleh dibunuh, saya melihat kemunculan wacana ini patut dihentikan sejak awal,” kata Fadli Zon dalam keterangannya, Minggu (1/12/2019).

“Wacana ini seperti membuka kotak pandora dan akan memicu diskursus lain yang substansial seperti pemilihan langsung atau oleh MPR, soal bentuk negara bahkan hal yang mendasar lain,” imbuh dia.

Fadli Zon menyebut prinsip dasar ketika mendiskusikan kekuasaan dalam konteks demokrasi adalah ‘pembatasan’ dan ‘kontrol’, bukan malah justru melonggarkannya. Sebab, kata Fadli Zon meminjam Lord Acton, kekuasaan itu cenderung menyeleweng dan kekuasaan yang absolut kecenderungan menyelewengnya juga absolut.

Dalam diskusi mengenai kekuasaan, lanjut Fadli, setiap orang bahkan harus dicurigai sebagai ‘orang jahat’ yang perlu dikontrol.

“Dan ini berlaku juga bagi ‘orang besar’ atau ‘negarawan’. Sehingga, ide penambahan periode jabatan presiden ini tak masuk kriteria untuk bisa didiskusikan lebih jauh. Ide tersebut bahkan harus segera didiskualifikasi dari perbincangan. Harus ditolak sejak awal,” tegas Fadli.

Fadli juga menyebut saat ini ada yang mengusulkan amandemen total UUD 1945, termasuk Pembukaan. “Itu kan lontaran yang miskin wawasan. Wacana liar ini bisa menyasar ke urusan dasar negara dan bentuk kesatuan atau federasi,” sebut Fadli.

Fadli Zon menilai batang tubuh UUD memang bisa diamandemen oleh anggota MPR, tetapi kebebasan itu tak berlaku bagi Pembukaan (Preambule). Pembukaan UUD 1945 memuat ‘staatidee’ berdirinya Republik Indonesia, memuat dasar-dasar filosofis serta dasar-dasar normatif yang mendasari UUD sehingga, menurutnya, mengubah Pembukaan sama artinya dengan membubarkan negara ini.

“Pembukaan ini seperti naskah Proklamasi, tak bisa diubah. Kecuali, kita memang ingin membubarkan negara ini dan mendirikan negara baru yang berbeda,” jelas Fadli.

Anggota Komisi I DPR itu mengatakan sejauh ini memang belum ada partai atau pejabat negara yang secara tegas mengusung wacana tersebut. Tapi ke depannya, kata Fadli, jika publik bersikap toleran, bukan tidak mungkin isu penambahan periode jabatan presiden ini akan terus digulirkan.

“Saya berharap publik mendiskualifikasi wacana ini dari perbincangan. Sebab, yang kita butuhkan saat ini ‘meremajakan kembali’ reformasi, bukan malah menarik mundur kembali reformasi,” tegas Fadli. (mb/cnn indonesia/detik)

Pos terkait