Analisis: Radikalisme di Kampus dan NKK/BKK Gaya Baru

Metrobatam, Jakarta – Pemerintah mulai aktif bergerak ‘masuk kampus’ untuk menangkal radikalisme. Ini tak lepas dari keterangan sejumlah pihak bahwa kampus adalah tempat menyemai benih-benih radikalisme sejak lama, serta temuan keberadaan bukti terorisme di kampus.

Bentuk Pemerintah ‘masuk kampus’ itu pun beragam. Misalnya, penggrebekan terhadap terduga teroris oleh Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri bersenjata menangkap terduga teroris bersama bom siap ledak saat menggeledah Gelanggang Mahasiswa Universitas Riau, 2 Juni.

Hal ini menuai kritik dari Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Menurut dia, kampus, sebagai pusat intelektual, seharusnya steril dari keberadaan senjata.

Selain itu, ada upaya penegakan disiplin dilakukan terhadap Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Suteki oleh kampus dan Kemenristek Dikti karena komentarnya di media sosial yang dianggap membela ormas Hitzbut Tahrir Indonesia (HTI) dan paham khilafahnya.

Bacaan Lainnya

Organisasi mahasiswa yang diduga berafiliasi dengan HTI di ITB, yakni HATI (Harmoni Amal dan Titian Ilmu) juga dilaporkan telah dibekukan oleh kampus. Organisasi ini telah lama dicurigai tak sejalan dengan Pancasila karena sering mengundang tokoh-tokoh HTI untuk menjadi pemateri diskusi.

Sementara, pada era Orde Baru ada kebijakan pengekangan terhadap kehidupan kampus melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan yang dicetuskan oleh Menteri Pendidikan Daoed Joesoef ini bertujuan untuk memfokuskan mahasiswa pada tugas belajar, bukan bermain politik.

Lantas benarkah upaya Pemerintah ‘masuk kampus’ saat ini adalah neo-NKK/BKK?

Pengamat pendidikan Darmaningtyas tak menampik bahwa upaya Pemerintah masuk kampus ini mirip dengan kebijakan Orde Baru itu.

Namun, hal itu wajar demi mencegah berkembangnya paham radikalisme. Dia juga menilai kampus tak akan sanggup mengontrol kegiatan mahasiswa sendirian.

Terlebih, abdi negara sudah disumpah untuk setia pada ideologi negara, yakni Pancasila, sejalan dengan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Sebenarnya itu kembali ke zaman Orde Baru, tapi ya demi tegaknya ideologi saya rasa enggak masalah,” kata dia, saat dihubungi CNNIndonesia, Jumat (8/6).

Meski begitu, Darmaningtyas menganggap bahwa pengawasan yang dilakukan pemerintah hari ini sedikit berbeda dibandingkan era Daoed. Bukan berpolitik yang dilarang, tetapi pengawasan terhadap organisasi ekstrakurikuler keagamaan radikal yang ingin dicekal.

“Jadi agak beda, kalau yang dulu jaman orde baru yang dilarang kan kegiatan politik, makanya orang larinya ke kegiatan keagamaan. Tetapi keagamaan akhirnya melahirkan kader-kader yang radikal itu juga,” jelasnya.

Terpisah, Pemerhati Pendidikan Doni A. Koesoema memaklumi soal penghormatan terhadap kebebasan berpikir di kampus. Namun saat kebebasan itu sudah dipolitisasi maka Pemerintah harus menindak civitas akademik yang tidak mengikuti peraturan.

“Karena ini tidak profesional dan harus dijauhkan dari kampus. Kampus harus diisi dengan dosen yang memiliki kredibilitas moral tinggi, bukan individu partisan,” cetus dia.

Prinsipnya, kata Doni, adalah pedoman perundangan. Yakni, UU Terorisme. Meskipun, ia tak sepakat dengan penerapan pengawasan berlebih terhadap kehidupan kampus, termasuk media sosial mahasiswa.

“Warga negara berhak akan privacy data-datanya dihormati orang lain, termasuk oleh Negara. Masalah radikalisme sudah diatur dalam undang-undang,” jelas dia.

Ketua Badan Pembina Lembaga Pendidikan (BPLP) PGRI Supardi menyarankan agar pemerintah menghidupkan kembali Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Ia optimistis hal tersebut bisa menekan angka radikalisme.

“P4 yang dilakukan di masa pemerintahan orde baru tinggal direvitalisasi saja bentuk kegiatannya supaya secara otomatis ini bisa mencegah radikalisme,” tuturnya.

Ridlwan Habib, Peneliti Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, mengusulkan Kemenristek Dikti dan kampus untuk melakukan sejumlah hal.

Pertama, menggandeng gerakan mahasiswa Islam untuk ikut berpartisipasi melawan terorisme dan radikalisme.

“Jangan salah, gerakan mahasiswa Islam di kampus itu rata-rata antiterorisme, bahkan saya bisa bilang semua antiterorisme. Merekalah yang [diminta] mengontrol sekitarnya, anggotanya jangan sampai terpapar ideologi terorisme,” kata dia.

Kedua, menempatkan dosen pembina atau penanggung jawab pada setiap kegiatan di kampus. Ketiga, memberikan batas waktu aktif mahasiswa di dalam kampus, sehingga pihak keamanan bisa melakukan pengawasan lebih mudah ketika kegiatan dilakukan di luar jam malam.

Keempat, menyokong pembuatan konten-konten internet yang menyajikan cara belajar Islam yang moderat. Mengutip penemuan mahasiswa S2 UIN, Ridlwan menyebut bahwa mahasiswa masa kini menyukai literasi jihadi dan takhiri.

“Saya kira ini kompetisi yang perlu dilakukan oleh teman-teman NU, Muhammadiyah dan teman moderat. Ya minta maaf ini kurang pro aktif membuat misalnya buku-buku, materi-materi, YouTube yang menarik belajar Islam,” ujar Ridlwan.

Tentang kritik senjata masuk kampus, Ridlwan menjawab bahwa itu salah alamat. Menurut dia, Fahri seharusnya mengamuk pada teroris yang bersembunyi di kampus sehingga mencoreng lingkungan akademik.

“Usulan kami boleh bersama Dikti dan BNPT, silakan [Fahri] berkeliling ke lapas bertemu dengan para napiter [nara pidana kasus terorisme] di sana itu bisa dilihat ideologinya, bisa diajak berdebat. Lalu sadarkan mereka bahwa Anda mengikuti gerakan Islam yang salah. Kalau Anda ingin mengubah pemerintahan jangan pakai kekerasan, ikutlah parpol, misalnya,” tutur dia.

“Jangan kebalik-balik, ini yang dimarahin polisinya,” imbuh Ridlwan. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait