Bawaslu: Rencana Pedoman Materi Khotbah Bukan Karena Pilkada

Metrobatam, Jakarta – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membantah bahwa rencana pemberian referensi materi khotbah kepada pemuka agama semata-mata dipicu ‘kericuhan’ akibat isu SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017 lalu.

Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja berdalih, rencana penyusunan referensi khotbah sebetulnya sudah lama dipikirkan untuk pencegahan politisasi agama dan uang.

“Bukan hanya dari Pilkada DKI. Pilkada-pilkada lain sebelumnya itu kan jadi trouble bagi banyak orang,” kata Bagja pada diskusi bertajuk “Persiapan dan Antisipasi Jelang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pilkada Serentak 2018” di Jakarta, Minggu (11/2).

Meski demikian, Bagja tak menampik bahwa tekanan emosi pada Pilkada 2017 DKI terbilang tinggi karena isu SARA.

Bacaan Lainnya

Oleh sebab itu, pihaknya ingin memperbaiki Pilkada Serentak 2018 ini supaya materi khotbah dari pemuka agama bersifat netral, tidak membela pasangan calon (paslon) tertentu, dan dapat diterima masyarakat.

“Kami bukan (mengatakan) Pilkada DKI jelek, tetapi Pilkada DKI kan tensinya naik gara-gara itu. Nah, oleh sebab itu kami ingin tensinya agar turun dengan materi khotbahnya baik,” kata Bagja.

Dalam penyusunan panduan materi khotbah, Bawaslu akan mengundang para pemuka agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha untuk berdiskusi bersama. Pemuka agama nantinya memberikan rumusan panduan tersebut kepada ormas masing-masing.

Bagja menegaskan, panduan tersebut nantinya hanya berupa referensi. Artinya, boleh digunakan dan boleh tidak. Bawaslu pun tidak akan melakukan pengawasan langsung di rumah ibadah untuk memastikan ceramah yang berlangsung bersih dari kepentingan politik tertentu.

Meski demikian, ia tetap menyarankan panduan itu tetap dipakai, khususnya untuk membantu calon pemilih yang masih belum bisa menentukan pilihan.

Misalnya, kata Bagja, masa tenang saat kampanye pilkada biasanya rawan terjadi politik uang dengan pemberian sembako. Pada momen itulah pemuka agama bisa menerangkan kepada jamaah bahwa kegiatan tersebut dilarang oleh negara dan agama.

“Itu harus diceramahkan tokoh agama di masjid atau gereja tentang bagaimama buruknya politik uang terhadap negara dan agama. Itu yang kami inginkan ke depan,” kata Bagja.

Pemuka agama, lanjutnya, juga diharapkan bisa menyadarkan jamaah untuk senantiasa berhati-hati di media sosial untuk mencegah penyebaran fitnah atau informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait