Daerah Otonomi Khusus Jadi Solusi Bagi Kota Batam

Metrobatam.com, Jakarta – Pembentukan daerah otonomi khusus bagi kawasan ekonomi yang hendak dibangun merupakan solusi untuk menghilangkan dualisme yang selama ini mengganjal masuknya investasi. Selama ada dualisme kepemimpinan dalam pengelolaan kawasan-yakni kepala otorita dan pemimpin daerah, para investor tidak mendapat kepastian hukum. Otorita Batam yang sudah berusia 44 tahun merupakan contoh nyata korban dualisme itu. Sejumlah otorita di Indonesia juga berjalan di tempat karena alasan yang sama.

Demikian dikemukakan pakar hukum Jimly Asshiddiqie dalam diskusi bertema “Quo Vadis Batam” di Jakarta, Selasa (29/8). Hadir pada diskusi itu, Kepala Badan Pengusahaan Batam Hatanto Reksodipoetro, Direktur Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti, anggota DPR Teguh Juwarno, dan wakil dari Pemerintah Kota (Pemkot) Batam. Para panelis sepakat pentingnya upaya menghilangkan dualisme pengelolaan Batam demi kepastian hukum bagi investor.

“Para investor membutuhkan kepastian. Tanpa kepastian, apa pun program yang dilaksanakan, tak akan menarik bagi investor,” kata Enny pada diskusi yang dipandu Usman Kansong.

Lewat Keppres Nomor 41 Tahun 1973, Batam dibangun secara khusus oleh sebuah badan yang disebut Otorita Batam atau Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam. Kemudian, nama otorita ini diubah menjadi Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Bacaan Lainnya

Untuk mempercepat pembangunan Batam, pemerintah menetapkan free trade zone (FTZ) Batam, Bintan, dan Karimun yang mengacu pada UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (PBPB). Kemudian dikeluarkan Keppres Nomor 8 Tahun 2016 tentang Dewan Kawasan PBPB Batam pada 29 Feberuari 2016. Tidak puas dengan FTZ, pemerintah merencanakan pembentukan kawasan ekonomi khusus (KEK) Batam.

Awalnya, Batam digagas untuk mengalahkan atau minimal mengimbangi Singapura sebagai kawasan industri terpadu. Semua infrastruktur–di antaranya bandara, jalan raya, dan pelabuhan–dibangun untuk menarik investor. Tetapi, dalam perkembangannya, Batam tetap tertinggal jauh dari Singapura, bahkan investor yang sudah ada pun hengkang ke kawasan lain.

Batam pun tertinggal dari kota lain di negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Misalnya, Iskandar Regional Development Authority di Malaysia yang didirikan akhir 2006. Kemudian, kawasan ekonomi khusus di Shenzhen yang sudah memberikan kontribusi terhadap Tiongkok. Pada 2016, sebanyak 75 persen pendapatan wilayah Shenzen sebesar US$ 114,5 miliar dikontribusi oleh kawasan ekonomi khsusus Shenzhen.

Penyebab utama minimnya daya tarik terhadap Batam, FTZ, dan KEK yang ada di Indonesia adalah tiadanya kepastian hukum akibat dualisme pengelolaan. Berbagai perizinan, mulai dari IMB hingga izin usaha, ada di tangan pemerintah daerah (pemda). Kewenangan pembebasan lahan juga ada di tangan pemda. Otorita hanya bisa memberikan janji kepada investor tanpa dilengkapi kewenangan yang cukup untuk merealisasikan janjinya. Dampaknya, pemodal merasakan tidak ada kepastian hukum. Masa tunggu dalam ketidakpastian terlalu lama, sedangkan pada saat yang sama, banyak wilayah lain yang menjanjikan.

Untuk menghapus dualisme, Jimly menyarankan pembentukan “daerah otonomi khusus” (DOK) bidang ekonomi, sama seperti DOK di bidang politik. Indonesia telah memberikan status DOK kepada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Provinsi Aceh dan Papua. Kalau pemerintah dan DPR serius memacu investasi, industri, dan perdagangan, mestinya DOK untuk ekonomi bisa direaliasikan.

“Kalau ada yang bisa menjelaskan dengan baik, saya yakin Presiden setuju dengan solusi ini. Selama ini, Presiden suka pada sesuatu yang out of the box,” ungkap Jimly.

Dari sisi hukum, lanjutnya, DOK bidang ekonomi dimungkinkan. Pemimpin kabupaten sekaligus menjadi kepala otoritas atau kepala KEK. Kewenangan berada di satu tangan. Jika wilayahnya harus lebih luas–melingkupi provinsi–, maka pemimpinnya selevel gubernur juga merangkap kepala otoritas.

Jimly menyarankan pemimpin wilayah KEK tidak dipilih lewat mekanisme pilkada langsung guna mencegah kepentingan politik yang terlalu besar. Pemimpinnya bisa ditunjuk oleh pemerintah pusat atau DPRD. Pemerintah dan DPR perlu duduk bersama untuk merumuskan UU sebagai payung hukum.

Jika DOK bidang ekonomi tidak memungkinkan, kata seorang panelis, pemerintah bisa memberikan kewenangan yang lebih besar kepada kepala otorita atau KEK. Semua perizinan di dalam wilayah KEK untuk kepentingan investasi diserahkan kepada badan otorita atau KEK.

Dengan luas wilayah 715 km persegi, Batam kini dihuni 1,2 juta penduduk. Pada 1973, penduduk pulau yang hanya berjarak dua jam pelayaran ke Singapura ini hanya 6.000. Awalnya, Batam dirancang sebagai kawasan industri terpadu. Infrastruktur transportasi sudah dibangun. Landasan pacu bandara Batam mencapai 4.000 meter. Pelabuhan juga cukup modern. Namun, bagian dari Provinsi Kepulauan Riau ini sulit berkembang akibat dualisme pengelolaan.

Sumber: beritasatu

Pos terkait