Doktrin Jihad Baru dan Peran Perempuan di Balik Bom Surabaya

Metrobatam, Jakarta – Indonesia kembali berduka atas aksi terorisme di tiga gereja di Surabaya Minggu (13/5) pagi. Ledakan yang diduga berasal dari bom buduh diri terjadi di depan Gereja Santa Maria Tak Bercela Jalan Ngagel utara, GKI Diponegoro dan GPPS Sawahan di Jalan Arjuno, Surabaya.

Peristiwa yang memakan 13 korban meninggal dunia itu terjadi sekitar pukul 07.30 WIB saat jemaat melakukan ibadah.

Beberapa saksi di sekitar gereja mencurigai kemunculan seorang perempuan dengan dua anaknya mengenakan ransel di depan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela. Perempuan dan dua anak itu memaksa petugas keamanan untuk masuk kawasan gereja, kemudian memeluk petugas dan tak berselang lama terjadi ledakan.

Satu hari sebelumnya, Sabtu (12/5) polisi menangkap dua orang perempuan yang diduga sebagai pengikut Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), DSM (18) dan SNA (21). Kedua perempuan ini berencana melakukan aksi penusukan menggunakan sebuah gunting terhadap anggota polisi di Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok.

Bacaan Lainnya

Dalam beberapa tahun terakhir perempuan mulai dilibatkan dalam aksi terorisme. Indonesia pernah dihebohkan dengan aksi Dian Yulia Novi karena menjadi ‘pengantin’ bom bunuh diri menggunakan bom panci di Bekasi pada 2016.

Pengamat Terorisme Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarrok mengatakan aksi radikalisme yang melibatkan perempuan merupakan strategi baru yang harus diwaspadai oleh pihak kepolisian. Strategi baru digunakan untuk mengelabui pihak kepolisian dan masyarakat.

“Karena pelibatan perempuan ini (aksi teror) belum biasa di pihak kepolisian dan masyarakat biasanya tahunya kaum pria,” kata Zaki kepada CNNIndonesia.com, Minggu (13/5).

Zaki menilai keterlibatan perempuan merupakan dampak dari penangkapan teroris yang mayoritas laki-laki. Hal ini menjadikan kelompok teroris kekurangan sumber daya manusia dari kaum laki-laki dalam melancarkan aksi mereka.

“Kekurangan sumber daya pengeboman dari laki-laki, jadi mereka melakukan apa saja, termasuk perempuan yang dikhawatirkan anak-anak juga digunakan,” kata Zaki.

Perubahan doktrin soal Jihad

Pengamat Terorisme, Al Chaidar menduga keterlibatan perempuan dikarenakan adanya perubahan doktrin yang memperbolehkan perempuan untuk melakukan ‘jihad’.

“Ada perubahan doktrin bagi perempuan boleh melakukan jihad,” kata Al Chaidar kepada CNNIndonesia.com, Minggu (13/5).

Selain lebih mudah mengelabui pihak kepolisian dan masyarakat, kelompok jaringan terorisme yang semakin terpojok itu akhirnya menghalalkan segala cara dengan melibatkan perempuan dalam rangka menyukseskan rangkaian aksi mereka.

“Perubahan strategi dan doktrin terkait ‘jihad’ oleh perempuan akan susah diidentifikasi dan dideteksi oleh pihak kepolisian,” kata Al Chaidar.

Senada dengan Al Chaidar, Zaki Mubarrok menambahkan bahwa pola jihad yang melibatkan perempuan ini belum dikuasai oleh aparat kepolisian.

“Menggunakan perempuan karena sulit dideteksi dan ini sulit diidentifikasi dan sulit untuk dikenali,” kata Zaki.

Potensi perempuan turut andil dalam aksi menebar teror sangat besar, apalagi perempuan yang berstatus janda dari para mantan teroris yang tewas atau ditangkap.

Dalam kondisi marah dan kecewa serta tidak ada pihak yang membiayai kebutuhan keluarga, para ‘jihadis’ perempuan itu lebih mudah direkrut dan diberikan pemahaman radikal. Hal ini, kata Zaki, juga sudah umum terjadi negara Irak dan Suriah.

Dengan makin variatifnya pola strategi yang digunakan oleh kelompok jaringan terorisme, Zaki meminta aparat untuk meningkatkan kewaspadaan. Terlibatnya perempuan dalam aksi teror diyakini akan menjadi tantangan yang makin berat untuk pihak kepolisian.

“Ini (aksi bom) memprihatinkan dan kita liat sepertinya tantangan ke depannya makin berat pemberantasan terorisme karena keterlibatan perempuan,” tambah Zaki.

Serangan akan lebih menggila

Sementara itu, Ketua Yayasan Prasasti Perdamaian Noorhuda Ismail mengatakan pola ‘jihad’ baru itu akan memprovokasi kaum pria dari jaringan terorisme untuk bergerak lebih menggila.

Serangan teror pun seakan memberi pesan membangunkan pelaku teror pria yang selama ini memilih berdiam diri.

“Di kelompok ISIS, para perempuan justru lebih radikal dan setia mendukung ISIS sehingga lewat aksinya, kaum perempuan tersebut ingin menunjukkan kepada kaum pria di kelompoknya untuk tidak hanya berdiam diri saja”, ungkap Noorhuda kepada CNNIndonesia.com.

Jajaran perempuan yang menjadi radikal itu ditenggarai mendapat doktrin sesat dari media sosial seperti Youtube, Twitter, Facebook dan Telegram. Media sosial menurut Noorhuda kerap digunakan pelaku terorisme untuk merekrut atau membentuk jaringan baru sampai belajar merakit bom dan melakukan aksi bom bunuh diri.

“Bisa jadi yang terjadi di Surabaya seperti itu. Kaum wanita atau si istri terdoktrin dari media sosial lalu mengajak suami dan anaknya untuk beraksi. Di dalamnya pun ada pesan, haruskah kami kaum perempuan dan anak yang beraksi,” kata Noorhuda.

Lihat juga: Kapolda Jatim: Ledakan Sidoarjo dan Surabaya Berhubungan

Lebih lanjut, sutradara dan produser film “Jihad Selfie” ini menyayangkan kalangan politikus atau kelompok yang menuding adanya rekayasa atau pengalihan isu di balik aksi teror yang belakangan terjadi.

“Mereka selalu menduga ini rekayasa, pengalihan isu dan kesalahan presiden atau kesalahan pemerintah. Padahal ini masalah kompleks kita bersama”, ujar Noorhuda. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait