Fahri Kritik Kasus Baiq Nuril: MA Tidak Boleh Buta

Metrobatam, Jakarta – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritik putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) atas kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjerat Baiq Nuril.

Baiq adalah terduga korban pelecehan seksual yang dilaporkan balik atas dugaan menyebarkan informasi elektronik (rekaman telepon) mengandung muatan asusila.

Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung memutuskan Baiq bersalah melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Dia divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara.

“MA enggak boleh buta. Kalau pelecehan itu benar terjadi, maka tidak ada hak orang yang melecehkan itu untuk membela diri dengan cara seperti itu. Dia melecehkan, kok. Bahkan prosesnya itu tidak boleh dilakukan,” kata Fahri di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (15/11).

Bacaan Lainnya

Fahri menilai pengenaan Pasal UU ITE atas perekaman yang dilakukan Baiq tidak tepat. Sebab, Baiq dinilai merupakan korban dari Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram berinisial M.

“Enggak benar dong. Karena dia korban. Bagaimana kalau korban boleh dianiaya balik, lalu pelaku bisa jadi pemenang dong, kalau gitu. Saya bisa balik semuanya. Semua peristiwa pidana bisa kita balik kalau gitu ceritanya,” ujar dia.

Fahri kemudian membangun rekonstruksi kasus Baiq berdasarkan versinya. Di tingkat pertama, menurut dia, harus diselesaikan terlebih dulu persoalan pelecehan seksual yang menimpa Baiq.

Jika sudah ditetapkan pelaku pelecehan terhadap Baiq, maka kata Fahri, delik kedua terkait penyebaran rekaman atau berita tidak dapat dilanjutkan kembali.

Fahri mengatakan jika langsung melompat ke delik kedua, maka hal itu sangat berbahaya karena Baiq dalam konteks sedang membela diri.

“Mungkin ibu ini membela diri. Mekanismenya seperti itu. Jangan kemudian hukum tiba-tiba lompat ke yang kedua lalu yang pertama tidak diperhatikan. Ini jadi tidak adil,” ujarnya.

Untuk itu, Fahri meminta agar MA menjelaskan masalah ini kepada publik supaya tidak memperlihatkan konstruksi hukum yang melompat dan menyebabkan orang yang tidak punya kekuatan justru menjadi bersalah.

Kasus Baiq Nuril bermula dari pelecehan yang diduga kerap dilakukan atasannya kala itu, yakni Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram berinisial M.

Pelecehan seksual itu dalam bentuk cerita M kepada Baiq tentang pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya. Cerita itu disampaikan M kepada Baiq melalui sambungan telepon.

Baiq lantas merekam pembicaraan dengan M tersebut karena merasa tidak nyaman sekaligus untuk membuktikan dirinya tidak terlibat hubungan gelap seperti yang dibicarakan orang sekitarnya.

Bukan atas kehendaknya, rekaman tersebut menyebar. M tak terima dan melaporkan Baiq dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE.

PN Mataram memutus Baiq Nuril tidak terbukti menyebarkan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan pada 26 Juli 2017. Jaksa Penuntut Umum lantas mengajukan banding hingga tingkat kasasi yang kemudian dimenangkan oleh MA.

Baiq divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara, namun dia berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Pelecehan atau kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, baik tempat kerja, sekolah, rumah, atau ruang publik. Anda yang ingin melaporkan insiden tersebut atau membantu korban bisa menghubungi lembaga-lembaga berikut:

  • Komnas Perempuan (021-3903963/komnasperempuan.go.id),
  • Lembaga Bantuan Hukum Apik (021-87797289/[email protected]/Twitter: @lbhapik),
  • Koalisi Perempuan Indonesia (021-7918-3221 /021-7918-3444/koalisiperempuan.or.id),
  • Bantuan psikologis untuk korban ke Yayasan Pulih (021-788-42-580/yayasanpulih.org). (mb/cnn indonesia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *