Hari Ini 20 Tahun Silam: Saat Soeharto Bertekuk Lutut

Metrobatam, Jakarta – “Reformasi itu apa sih, Cak Nur?” ujar Soeharto pada suatu pertemuan kecil dengan Nurcholis Madjid dan mantan Menteri Sekretariat Negara Saadilah Mursyid pada 18 Mei 1998.

Malam itu ketiganya bertemu di rumah pribadi Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, seperti dikisahkan biografi Nurcholis Majid, Api Islam, Jalan Hidup Seorang Visioner karya Ahmad Gaus AF.

Di luar gerbang rumah yang identik dengan keluarga Soeharto itu, kekalutan menjalar nyaris di setiap jengkal Jakarta dan daerah-daerah sekitar. Asap hitam dari toko-toko yang dijarah dan kemudian dibakar jadi pemandangan banal warga ibu kota.

Kerusuhan itu membabat 13 pasar, 40 pusat perbelanjaan, dan ribuan toko, bengkel, restoran, hotel atau ruko. Kantor-kantor bank pun tak luput dari sasaran amuk massa dengan 65 di antaranya dirusak. Demikian pula dengan ribuan mobil, motor, rumah penduduk serta tempat peribadatan seperti gereja yang kerap dijadikan pelampiasan kecemasan massa.

Bacaan Lainnya

Di kemudian hari, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso memperkirakan total kerugian mencapai Rp2,5 Triliun.

Api kemarahan pun menembus tembok-tembok kampus yang selama puluhan tahun sebelumnya coba disterilkan Soeharto dari diskusi politik praktis. Empat mahasiswa Trisakti yang diduga tewas diberondong peluru tentara ketika berdemonstrasi pada 13 Mei 1998 tak membuat mereka gentar untuk kembali turun ke jalan.

Gedung DPR/MPR pun diterobos masuk dan diduduki. Bahkan hingga ke atap. Seluruh simbol-simbol kekuasaan yang selama beberapa dekade tak tersentuh kini seolah jadi panggung massa memprotes Sang Jenderal.

“Reformasi!”

“Reformasi!”

“Soeharto mundur!”

Tuntutan ini juga yang coba didorong Cak Nur lewat sebuah tulisan di halaman pertama suatu koran nasional. Dengan tegas ia meminta Soeharto dari tampuk kepemimpinan setelah 32 tahun berkuasa. Dia juga menuntut Soeharto dan keluarganya harus mengembalikan kekayaan pada negara pada tulisan berjudul “Harus Berakhir dengan Baik”.

Di hadapan sosok yang dijuluki Bapak Pembangunan itu, dalam pertemuan di Cendana pada 18 Mei malam, Cak Nur pun tak segan mengungkapkannya langsung.

“Reformasi itu artinya Pak Harto turun,” ujar Cak Nur.

Krisis Multidimensi

Soeharto bukan tidak paham kegentingan di sekitarnya. Sejak pulang dari mengikuti KTT di Kairo, Mesir, ia memutuskan berkantor di Cendana ketimbang Istana Negara. Dari sanalah ia dan para menteri coba memadamkan api krisis multidimensi yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat, yang berawal dari runtuhnya perekonomian.

Pada awal tahun itu, Indonesia yang lima tahun sebelumnya mendapat julukan ‘Macan Asia yang Baru Terbangun’ dan diberi predikat ‘Keajaiban Asia’ oleh Bank Dunia, justru bertekuk lutut di hadapan badai krisis finansial. Euforia ketangguhan ekonomi Indonesia pun seketika meredup.

Bermula dari kondisi ekonomi Thailand yang tidak sehat dengan utang valas korporasi swasta membengkak seiring penguatan dolar AS pada 1997. Akibatnya neraca transaksi berjalan Negeri Gajah Putih mengalami defisit.

Pada Juli 1997, penguatan dolar AS menyebabkan nilai tukar rupiah ikut bergejolak. Padahal menurut statistik, sejak 1990-1996, nilai tukar rupiah stabil di level Rp1.901-Rp2.383 per dolar AS.

Ini kemudian memicu inflasi yang semakin meroket dan kelangkaan sembako. Soeharto juga menyadari bahwa hari-harinya sebagai Presiden berpotensi berakhir jika rupiah tidak bisa dikendalikan.

Upaya meredam krisis ekonomi itu kemudian dimulai pada Oktober 1998 dengan datangnya program paket bantuan senilai US$43 miliar dari IMF. Soeharto sepakat menjadikan Indonesia pasien IMF dengan menuruti syarat-syarat mereka untuk mengatasi krisis ekonomi, salah satunya dengan menutup 16 bank swasta yang dianggap bermasalah.

Namun apa lacur, resep yang diberikan IMF itu malah memperparah krisis. Rupiah kian anjlok, barang-barang semakin sulit didapatkan, dan inflasi pun makin membumbung tinggi. Antrean mengular –baik masyarakat yang coba menarik keluar uang dari bank atau sekadar membeli minyak goreng– jadi pemandangan yang lazim ditemui.

Jika krisis ekonomi menjadi bahan bakar terjadinya kerusuhan dan kekacauan di masyarakat, maka api pemantiknya adalah krisis politik yang sudah bermula sejak beberapa tahun sebelumnya.

Hal ini dikarenakan cengkraman Soeharto pada sendi-sendi masyarakat melalui politik massa mengambang semakin melemah.

Pada pemerintahannya, Soeharto memang tak ragu membungkam mereka-mereka yang berseberangan dengannya dan kemudian dilabeli ‘antipembangunan’.

LP Cipinang merupakan simbol tangan besi Soeharto. Tempat itu berfungsi sebagai ‘penampung akhir’ para penentangnya. Di antaranya, Xanana Gusmao, yang kini menjabat Presiden Timor Leste; aktivis Sri Bintang Pamungkas, aktivis Mochtar Pakpahan, hingga para aktivis PRD seperti Budiman Sudjatmiko.

Namun seiring dengan letupan berbagai demonstrasi di banyak kota di Indonesia dan meningkatnya kesadaran politik, suara-suara yang menentang Soeharto pun semakin sukar dibungkam.

Dikutip dari Bangsa yang Belum Selesai karya Max Lane, sejak pemilu 1997 digelar pada Mei hingga akhir 1997, terjadi 110 aksi protes mahasiswa di berbagai kota. Jumlah ini lebih banyak ketimbang yang terjadi pada 1996.

Isu-isu yang digelorakan dalam aksi protes itu mencakup menentang kekerasan tentara, dwi-fungsi ABRI, kemandulan legislatif, kekerasan oleh geng Golkar, hingga budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengakar di berbagai instansi pemerintah.

Memasuki Januari 1998, aksi-aksi protes mahasiswa itu semakin meledak.

Dilaporkan terjadi 850 aksi sejak Januari hingga akhir Mei tahun itu, dengan agenda yang telah terfokus: menurunkan Soeharto. Bentrokan antara mahasiswa dengan tentara pun makin sering terjadi, mulai dari Solo, pendudukan kampus Universitas Gajah Mada oleh tentara, hingga ricuh di Universitas Sumatera Utara.

Ketika Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei datang, demonstrasi yang melibatkan ribuan mahasiswa terjadi di hampir semua kota dalam negeri, mulai dari Aceh hingga Jayapura. Aksi-aksi ini kemudian bereskalasi hingga mencapai puncaknya berupa pendudukan gedung DPR/MPR pada 19 Mei.

Soeharto Mundur

Tiga hari sebelum pendudukan tersebut, Ketua DPR/MPR yang juga pernah menjadi Menteri Penerangan Harmoko juga menyuarakan agar Soeharto mundur. Ia bertemu dengan sang Presiden di Cendana membicarakan kondisi Indonesia dan desakan rakyat agar Soeharto mundur. Harmoko bahkan sempat menanyakan langsung kepada Soeharto soal aspirasi rakyat yang meminta dirinya mundur.

“Ya, itu terserah DPR. Kalau pimpinan DPR/MPR menghendaki, ya saya mundur, namun memang tidak ringan mengatasi masalah ini,” jawab Soeharto, dalam buku ‘Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi’ yang ditulis BJ Habibie.

Dua hari kemudian, Harmoko, yang sebelumnya sangat setia kepada Soeharto di hadapan media menyatakan bahwa semua fraksi di DPR, termasuk fraksi Angkatan Bersenjata, telah setuju untuk meminta Presiden mengundurkan diri.

“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko, pada 18 Mei 1998, merespons tuntutan para mahasiswa itu.

Ketika itu, ia didampingi pimpinan parlemen lainnya, yaitu Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid.

Ironisnya, baru beberapa bulan sebelumnya, Harmoko yang bekas Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan kepada Soeharto bahwa, berdasarkan hasil safari Ramadan ke sejumlah daerah, rakyat menganggap tidak ada tokoh lain yang dapat memimpin negara kecuali Soeharto.

Ditinggal 14 Menteri

Pada pertemuan dengan Cak Nur dan Saadilah Mursyid, 18 Mei malam, Soeharto berjanji akan mengundurkan diri dalam waktu dekat. Namun, sebelum menanggalkan jabatan, dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat.

Mereka antara lain Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Ahmad Bagja, Ali Yafie, Anwar Harjono, Emha Ainun Nadjib, Ilyas Rukhiyat, Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, Soetrisno Muhdam. Selain kesembilan orang itu, Saadilah juga ingin Cak Nur turut ikut. Cak Nur pun ingin mengajak satu orang lagi, yakni Yusril Ihza Mahendra karena merupakan ahli hukum tata negara.

Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjadi anak buah Saadilah Mursyid dan punya kedekatan dengan Soeharto menjelaskan bahwa orang nomor satu di Indonesia sebetulnya memang sudah siap mundur. Namun, kata Yusril, Soeharto cemas kekacauan bakal terjadi jika dirinya mengundurkan diri saat itu juga.

Karena itulah Soeharto ingin membentuk semacam tim transisi yang dinamai Komite Reformasi dan bertugas mendampinginya dalam memulihkan kondisi sosial ekonomi Indonesia.

‘Wali Songo’ sebetulnya tidak setuju dengan ide Komite Reformasi. Terjadi tarik menarik pendapat yang cukup alot. Hingga kemudian, Cak Nur meminta Soeharto agar tidak mengikutsertakan seluruh tamu yang diundang itu menjadi anggota Komite Reformasi. Soeharto sedikit kaget.

Cak Nur lalu menjelaskan bahwa kehadiran sembilan tokoh Islam ke Istana berada dalam posisi dicurigai masyarakat. Sebab, para tokoh ini sebelumnya dikenal kritis terhadap Soeharto selama krisis mulai melanda. Jika setuju menjadi bagian Komite Reformasi, lanjutnya, masyarakat dipastikan mencap mereka sebagai penjilat kelas kakap dan antek-antek Cendana.

“Kalau nanti Pak Harto memasukkan kami dalam komite atau pun kabinet yang di-reshuffle, kami menjadi seperti rupiah, kurs kami jatuh,” tutur Cak Nur mengutip biografi Nurcholish Madjid, Api Islam, Jalan Hidup Seorang Visioner (2010:277).

Penolakan terhadap Komite Reformasi ini pun bukan hanya muncul dari para tokoh, tapi juga mahasiswa. Bagi mereka, pernyataan Soeharto itu seolah membumbung ke langit dan hilang tanpa arti, hampa. Sebab, mahasiswa hanya menunggu pernyataan pengunduran diri Soeharto, bukan pembentukan Komite Reformasi.

Yusril mengklaim, bersama Saadilah, dirinya dipercaya Soeharto untuk merealisasikan pembentukan Komite Reformasi. Sekitar 45 nama diajak bergabung ke dalam Komite Reformasi. Namun, hanya tiga yang bersedia.

Senada, rencana pembentukan Kabinet Reformasi pun kandas. Sebanyak 14 Menteri anggota Kabinet Pembangunan VII, yang merupakan orang-orang dekat Soeharto, menolak untuk masuk kabinet itu.

Mereka adalah Akbar Tandjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Sanyoto Sastrowardoyo, Subiakto Tjakrawerdaya, Sumahadi, Tanri Abeng dan Theo L. Sambuaga.

Soeharto sendiri baru mendengar kabar penolakan 14 menteri pada Kabinet Reformasi pada 20 Mei malam, lewat sebuah surat yang dititipkan Akbar Tanjung pada Yusril. Berdasarkan keterangan Yusril, surat itulah yang kemudian menjadi dorongan final bagi Soeharto untuk keesokan harinya.

Dalam ketergesaan itulah Indonesia melangkah ke fase selanjutnya, yaitu reformasi. Proses pengunduran Soeharto pun disiapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tanpa dilakukan di hadapan DPR/MPR karena situasi Jakarta yang tidak memungkinkan digelarnya sidang.

Sejarah mencatat pada Kamis 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB, Soeharto resmi meletakkan jabatan dan digantikan oleh BJ Habibie. Tanpa transisi, tanpa Komite Reformasi.

Sorak sorai pun menggelora dari dalam gedung DPR/MPR, kampus-kampus dan berbagai pelosok masyarakat. Tawa senang para tahanan politik juga terdengar dari dalam LP Cipinang, menyambut berakhirnya era 32 tahun diktator.

Reformasi yang Belum Tuntas

Kejatuhan Soeharto ini membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia. Keran-keran aspirasi politik yang semula dikendalikan oleh pusat, kemudian mulai dibuka di semua level.

Presiden Habibie segera mengeluarkan serangkaian kebijakan peruahan untuk memenuhi harapan reformasi. Ia menegaskan akan ada pemilihan umum sesegera mungkin dan keputusan ini kemudian disetujui secara formal melalui Sidang Istimewa MPR RI. Ia juga mengeluarkan peraturan yang secara efektif mencabut UU politik yang represif.

Namun ini juga berarti belum redanya kegaduhan dan kekacauan di masyarakat. Berbagai aksi pun tetap berlanjut menentang pemerintah, dwifungsi ABRI, penguasa lokal, dan perusahaan-perusahaan di semua tingkatan. Bahkan setingkat kepala desa yang terindikasi korupsi pun tak lepas dari tuntutan pengunduran diri dari warganya. Hingga November 1998, atau ketika Sidang Istimewa MPR RI digelar, mobilisasi massa kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Selain tuntutan terhadap pergantian kekuasaan dan pembersihan pengelolaan negara dari KKN, satu pekerjaan reformasi yang belum tuntas hingga saat ini adalah tindakan konkret terhadap lingkaran dalam Orde Baru yang dituduh korupsi dan melanggar hak-hak asasi manusia.

Pada 2004, lembaga Transparency International mengeluarkan Global Corruption Report dan menempatkan Soeharto sebagai pemimpin terkorup di dunia. Dugaan nilai korupsinya mencapai US$15-35 miliar. Jumlah itu didasarkan data penggelapan dana publik.

Ia mengalahkan diktator lainnya, seperti eks Presiden Filipina Ferdinand Marcos dengan nilai dugaan korupsi US$5-10 miliar, dan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic dengan nilai mencapai US$1 miliar.

Pada Juli 2015, pengadilan perdata telah memutuskan Yayasan Beasiswa Supersemar wajib mengembalikan US$315 juta dan Rp139,43 miliar, atau total sekitar Rp4,4 triliun pada negara. Dari jumlah itu, baru Rp241,8 miliar dikembalikan pada negara. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait