Haruskah Prabowo ‘Kawin’ dengan Cawapres PKS?

Metrobatam, Jakarta – PKS ngotot meminta jatah kursi cawapres bagi Ketum Gerindra Prabowo Subianto bila ingin koalisi terus berlanjut. Haruskah Prabowo mengikuti keinginan tersebut?

Syarat dari PKS disuarakan para elite PKS. Terbaru, anggota Majelis Syuro PKS Tifatul Sembiring-lah yang menegaskan cawapres Prabowo pada Pilpres 2019 harus dari PKS.

“Jadi, sesuai dengan kesepakatan awal dengan Gerindra, kita tetap masih mencalonkan Pak Prabowo so far berpasangan dengan cawapres dari PKS. Itu nggak bisa ditawar-tawar,” ujar Tifatul di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/7).

PKS, menurutnya, tak mau jadi penggembira saja di Pilpres. Partai pimpinan Sohibul Iman itu ingin menjadi bagian yang ‘dianggap’ menentukan di koalisi. Apalagi sudah ada perjanjian antara Gerindra dan PKS. “Cawapres harus dari PKS. Kami nggak mau jadi penggembira saja dalam pilpres ini,” tegas dia.

Bacaan Lainnya

Bahkan anggota DPR ini mengancam, bila cawapres Prabowo bukan dari PKS, kerja sama mereka batal. Gerindra dan PKS lebih baik berpisah jalan.

“Kalau kami mau disuruh dukung-dukung saja, mungkin nggak. Ini mungkin kita lebih baik jalan masing-masing,” sebut Tifatul.

Hal senada disampaikan oleh politikus PKS Aboe Bakar Alhabsy. Dia menyatakan kesepakatan antara Gerindra dan PKS disebutnya akan tetap berjalan.

“Cawapres, ya, kita berharap begitu (dari kalangan internal PKS). Tetap bahwa sesungguhnya PKS yakin dan percaya kesepakatan PKS (mengisi posisi) di wapres tetap akan berjalan. Tetapi siapa orangnya belum tahu,” ungkap Aboe Bakar, Selasa (10/7).

Sementara itu, Waketum Gerindra Arief Poyuono menganggap santai ancaman dari Tifatul. Dia menganggap pernyataan tersebut tak perlu dihiraukan selama itu bukan keputusan dari pimpinan PKS.

“Begini, itu kan baru Pak Tifatul sendiri, belum pernyataan resmi dari pimpinan PKS, yang punya hak untuk memutuskan. Dan setahu saya, PKS bukan keputusan yang diputuskan oleh Tifatul sendiri,” ucap Poyuono, Selasa (10/7).

Poyuono mengatakan PKS pasti menghormati koalisi. Dia lalu mengungkit sikap PKS dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Saat itu PKS tak mengusung kader sendiri, melainkan Anies Baswedan dan politikus Gerindra Sandiaga Uno.

“Seperti kayak di Jakarta saja, PKS tidak punya kader kan dan dicalonkan ternyata Anies. Pak Mardani mundur, kan. Semua dinamis. Yang penting PKS itu ada di barisan kita, Pak Prabowo,” tutur Poyuono.

Meski begitu, anggota Badan Komunikasi DPP Gerindra Andre Rosiade sedikit menenangkan. Dia menyatakan cawapres dari PKS merupakan salah satu prioritas dari Gerindra. “Kandidat cawapres dari PKS tetap salah satu prioritas kita,” kata Andre, Selasa (10/7).

Andre menegaskan peluang Prabowo menggandeng kader PKS jadi cawapres sangat terbuka. Meski demikian, soal cawapres ini, kata dia, masih akan dibahas dengan calon mitra koalisi.

“Peluang menggandengnya ada, dong. Kan ini akan dirapatkan, didiskusikan oleh kita sekarang. Pak Prabowo dalam waktu dekat kan akan bicara dengan PKS dan PAN untuk memutuskan siapa cawapres yang terbaik,” jelas Andre.

Apakah cawapres PKS cukup kuat menjamin kemenangan Prabowo pada Pilpres 2014? Pertanyaan ini sudah mulai terjawab di hampir semua survei, para capres PKS belum menunjukkan elektabilitas yang belum cukup kuat. Lalu akankah Prabowo tetap mengambil cawapres dari PKS? Kalau bukan dari PKS, dari parpol mana cawapres Prabowo?

Menurut pengamat politik Rico Marbun, Prabowo tak memiliki keharusan mengambil kader PKS sebagai wakilnya pada Pilpres 2019. Ini mengingat kekuatan PKS yang disebutnya mulai menurun.

“Itu terserah Prabowo, tapi tidak harus kalau bicara soal kualitas mesin politik saat ini,” jelas Rico saat dihubungi detikcom, Rabu (11/7).

Rico pun menjelaskan ‘kegagalan-kegagalan PKS’ belakangan ini. Dia mengatakan mesin PKS tak bekerja maksimal di Pilgub Jawa Barat lalu, sehingga pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu kalah oleh Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum.

“Pilgub Jawa Barat menunjukkan bahwa mesin politik PKS tidak bekerja dengan maksimal. Aher (Ahmad Heryawan) menang di periode pertama saat PKS tidak punya apa-apa,” kata Rico.

“PKS bisa mempertahankan kursi gubernur di Jawa Barat periode kedua justru saat partai diguncang oleh kasus korupsi LHI (Luthfi Hasan Ishaaq, eks Presiden PKS). Anehnya, sekarang PKS justru kalah di Provinsi Jabar saat situasi politik aman-aman saja untuk PKS,” tambah dia.

Tak hanya itu, ada beberapa hal lain yang disoroti Rico. Salah satunya adalah kekalahan PKS di Pilgub Jatim.

“Jadi ada penurunan kualitas mesin PKS. Data exit poll Pilgub Jabar menunjukkan tema ganti presiden dan kekuatan Prabowo-lah yang sedikit menyelamatkan suara Sudrajat-Syaikhu,” tutur Rico.

Masalah-masalah PKS lainnya dinilai cukup punya andil mengapa partai ini kini menurun. Seperti permasalahan internal antara DPP dan Fahri Hamzah, yang hingga kini masih menggugat pemecatannya dari PKS.

Menurut dia, Prabowo bisa saja melabuhkan dukungannya ke parpol lain yang belum menentukan sikap resmi untuk Pilpres 2019, yakni PKB, PAN, dan Demokrat. Partai-partai tersebut dinilai bisa memberikan kekuatan yang lebih ketimbang PKS.

“PKB, PAN, dan Demokrat menjadi pilihan dan alternatif yang menjanjikan,” tutup Rico. (mb/detik)

Pos terkait