Histeria Sistem Zonasi PPDB, Bunuh Diri Hingga Penyanderaan

Metrobatam, Jakarta – Bunuh diri, demonstrasi, hingga aksi penyanderaan mewarnai proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur reguler di sejumlah sekolah seperti di Bandung, Manado, dan Tangerang. Penerapan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru jadi pemicu rangkaian peristiwa tersebut.

Pada Juni lalu, seorang remaja putri di Blitar, Jawa Timur, EP (16), tewas bunuh diri setelah dirinya khawatir tidak bisa diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Blitar karena sistem zonasi yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kekhawatiran EP ini rupanya mewakili kekhawatiran para orang tua siswa. Kemarin, di Bandung, Jawa Barat, sekitar 100 orang tua dan calon siswa menggelar demonstrasi di kantor Gubernur Jabar, Gedung Sate.

Dikutip Detikcom, ratusan orang tua dan calon siswa yang kompak mengenakan pita merah itu, menuntut kejelasan sistem PPDB 2018.

Bacaan Lainnya

Siti Aminah (54), salah satu orang tua siswa yang ikut berdemo mempersoalkan anaknya yang sudah mendaftar di sekolah terdekat namun tidak diterima.

Ia pun menyebut sistem zonasi yang ditetapkan pemerintah tidak berpihak. Aminah lantas menuntut pemerintah daerah membebaskan atau meringankan biaya pendaftaran seandainya anaknya harus masuk ke sekolah swasta.

“Kalau seperti ini orang miskin semakin bodoh. Hoyong atuh abdi ge orang miskin pinter, jadi pejabat,” ucapnya.

Dalam aksinya, massa juga menuntut agar pemerintah daerah menjembatani ke pemerintah pusat mengenai kisruh PPDB yang terjadi di Kota Bandung dan Jawa Barat.

Sistem zonasi penerimaan siswa baru diatur dalam Permendikbud No 17 tahun 2017 tentang PPDB, yang kemudian disempurnakan lewat Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018.

Dari Permendikbud tersebut, kriteria utama dalam PPDB adalah jarak, bukan faktor lain seperti usia atau prestasi.

“Itu (jarak, red.) yang diutamakan, kedua baru faktor lainnya, seperti umur,” kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Hamid Muhammad.

Dalam sistem zonasi, sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat.

Dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Sisanya, sebanyak lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial.

Ketentuan zonasi diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah (pemda), sesuai dengan kondisi geografis wilayah.

Harapannya, siswa tak perlu lagi mengeluarkan ongkos transportasi lebih untuk menuju ke sekolahnya masing-masing.

Tiru Jepang

Mendikbud Muhadjir Effendy memberi contoh siswa-siswa di Jepang, yang hanya berjalan kaki ke sekolahnya masing-masing.

“Kalau tidak terima dengan sistem zonasi, masuklah ke swasta. Nantinya kami akan mendorong agar sekolah swasta dibenahi, ditingkatkan kualitasnya jangan sampai sekolah didirikan hanya untuk mengharapkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS),” jelas mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu.

Ucapan enteng Muhadjir tersebut, nyatanya tak seenteng yang dihadapi siswa atau orang tua siswa.

Deni, warga Bandung yang ikut berdemo di Gedung Sate kemarin mengaku tak sanggup membiayai jika anaknya mendaftar di sekolah swasta.

“Tadi ke swasta daftar saja Rp200 ribu. Total harus ada uang sekitar Rp4 juta. Saya berharap ada jaminan bebas biaya ke swasta,” ucap Deni.

Kisruh sistem zonasi merembet ke daerah lain seperti Banten dan Manado. Di Tangerang, Banten, kisruh sistem zonasi berlangsung layaknya film-film Hollywood. Ratusan warga Panunggangan, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang merangsek ke dalam Gedung SMP 23 Pinang, lantas menyandera Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang, Abduh Surahman.

Mereka yang menyandera adalah para orang tua tua yang kecewa anaknya tak diterima di sekolah tersebut. Mereka kesal lantaran Abduh tak bisa membantu meloloskan anak-anak mereka.

Selain menyandera kepala dinas, ratusan orang tua siswa juga menyegel gedung sekolah. Sementara aparat kepolisian yang berjaga tak dapat berbuat banyak. Mereka hanya berusaha menenangkan warga sambil mengevakuasi kela dinas,

“Jaraknya ada, mah, 3 meter. Rumah saya ke-aling-an ini, nih. Satu RW, orang asli sini, tapi enggak bisa masuk karena NEM-nya kecil dan zona program. Padahal dulu anak yang deket enggak boleh sekolah jauh tapi nyatanya malah anak lain yang diterima. Anak saya mah kaga,” cetus Sri Masnah, warga yang menggeruduk SMP 23.

Sementara itu di Manado, Sulawesi Selatan, para orang tua siswa berebut mendaftarkan anaknya di SMP Negeri 1 Manado yang memang menjadi salah satu sekolah primadona.

Para orang tua berebut masuk ke dalam sekolah untuk mendapatkan nomor antrean. SMP Negeri 1 sendiri hanya bisa menerima 384 siswa baru. Dari jumlah itu, sekolah hanya diperbolehkan menyisihkan 10 persen kuota untuk calon siswa di luar zonasi.

Hal ini yang tampaknya memicu keributan saat proses pendaftaran. Asrin, operator penerimaan masuk siswa baru SMP Negeri 1 mencatat dari 384 kuota yang dimiliki sekolah, ada 600 orang tua siswa yang mendaftarkan anaknya sejak Senin siang kemarin.

Berkaca dari kisruh-kisruh tersebut, sistem zonasi jelas perlu pematangan konsep dan persiapan yang lebih mantap. Tanpa itu, niat baik pemerintah lewat sistem zonasi hanya akan menjadi mimpi buruk bagi para siswa dan orang tua siswa. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait