Jonan Sebut Freeport Belum Sepakat Soal Pajak

Metrobatam, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan, saat ini pemerintah belum menemui titik terang soal pajak yang harus diemban PT Freeport Indonesia usai terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017.

Menurutnya, keputusan tersebut masih dirundingkan dan masuk ke dalam empat poin negosiasi antara Freeport dan pemerintah. Selain jaminan penanaman modal, poin-poin lain yang masih dirundingkan adalah pembangunan smelter, divestasi maksimal sebesar 51 persen, dan kelangsungan operasi pasca kontrak habis di tahun 2021.

Oleh karenanya, hingga hari ini, pemerintah belum tahu apakah Freeport mengikuti ketentuan fiskal yang sesuai dengan kontrak (nail down) atau peraturan yang berlaku adalah aturan perpajakan yang berlaku seharusnya (prevailing).

Namun, jika Freeport sudah sepakat mengubah statusnya dari Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), maka sudah seharusnya Freeport memberlakukan fiskal prevailing.

Bacaan Lainnya

“(Masalah nail down atau prevailing) belum ditentukan, itu bagian dari perundingan,” papar Jonan di Kementerian ESDM, Rabu (5/7).

Adapun menurutnya, pihaknya baru saja bertemu dengan Kementerian Keuangan untuk membahas masalah perpajakan, retribusi daerah, dan royalti yang seharusnya dibayarkan Freeport. Ia berharap, masalah ini rampung Oktober mendatang, berbarengan dengan seluruh poin-poin perundingan tersebut.

“Kami sepakat itu bisa selesai sebelum Oktober,” katanya.

Di samping itu, ia menegaskan bahwa pemerintah juga tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) khusus hanya untuk mengakomodasi stabilisasi investasi Freeport. Namun, pemerintah rencananya memang akan menerbitkan satu peraturan terkait investasi pertambangan, meski ia tak mau menyebut secara detil.

“Pemerintah tidak akan buat satu peraturan khusus untuk satu badan usaha saja. Apapun itu bentuknya,” pungkas Jonan.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi sinyal bahwa ketentuan perpajakan dan bea keluar ekspor yang harus dibayarkan Freeport akan mengikuti ketentuan prevailing.

Nantinya, ketentuan perpajakan Freeport tak mengikuti ketentuan kontrak sebelumnya, yang berupa Kontrak Karya (KK) atau bersifat naildown.

“Di Undang-undang secara jelas bahwa perubahan menjadi IUPK berarti menghendaki prevailing law, yang berarti kita akan hitung berdasarkan kewajiban berbasis pada UU Perpajakan saat ini,” ujar Sri Mulyani di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), Selasa kemarin.

Jika menjadi IUPK, maka Pajak Penghasilan (PPh) badan Freeport akan turun dari 35 persen menjadi 25 persen. Namun, akan ada tambahan pajak lain seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen dan Pajak Penjualan (PPn) sebesar 2,3 persen hingga 3 persen.

Selain masalah perpajakan, pemerintah juga akan mendapatkan peningkatan pendapatan dari royalti. Di dalam KK, royalti dari produksi emas dan perak terhitung 1 persen, sementara royalti bagi tembaga tercatat 3,5 persen.

Jika mengacu pada IUPK, maka royalti emas tercatat sebesar 3,75 persen, perak sebesar 3,25 persen, dan tembaga sebesar 4 persen. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait