Kecewa Ditunda, Prof Muladi: Apa Kita Lebih Suka KUHP Penjajah?

Metrobatam, Jakarta – Sebagai orang yang terlibat selama 35 tahun dalam pengkajian revisi KUHP Prof Muladi mengaku sangat kecewa andai pengesahan revisi KUHP benar-benar ditunda seperti permintaan presiden Jokowi. Ketua Tim Perumus Revisi KUHP itu menilai mereka yang mempermasalahkan pasal-pasal tertentu dalam draf revisi tak membaca utuh versi mutakhirnya.

Muladi mengklaim dirinya saat ini boleh jadi satu-satunya pemegang warisan dari para profesor yang terlibat dalam pengkajian revisi sejak awal, seperti Prof Soedarto, Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Oemar Seno Adjie. Tokoh-tokoh masa lalu itu yang meminta agar dia menyelesaikan revisi KUHP.

“Mereka semua sudah meninggal. Jadi memang saya all out mengerjakan ini. Seminggu tiga kali selama empat tahun terakhir ini kami berdebat dengan DPR untuk membahas revisi ini. Tapi akhirnya kok begini,” kata Muladi kepada Tim Blak-blakan detik.com.

Ia berharap penundaan ini tidak berakhir dengan kegagalan. Sebab revisi ini lebih merupakan rekodifikasi yang sangat besar atas produk kolonial. “Atau kita memang lebih suka menggunakan KUHP penjajah yang sudah seratusan tahun itu?,” ujar Muladi masygul.

Bacaan Lainnya

Bila itu yang terjadi, ia melanjutkan, para dosen seperti dirinya berarti akan terus mengajarkan produk hukum penjajah. Begitu juga dengan para penegak hukum menjalankan hukum penjajah yang korbannya sudah jutaan manusia.

Semula Komisi III DPR dan Pemerintah sepakat untuk mengesahkan revisi KUHP pada 24 September 2019. Tapi pada Jum’at (20/9), Presiden Jokowi meminta agar DPR menunda pengesahan revisi KUHP tersebut. Dia mengaku mendengarkan masukan berbagai kalangan yang berkeberatan dengan sejumlah substansi RKUHP. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly diminta untuk menyampaikan sikap pemerintah kepada DPR.

Muladi yang juga Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Diponegoro itu menilai kritik yang muncul dari sejumlah elemen masyarakat dan pers bersifat sporadis ad hoc, karena tidak membaca keseluruhan materi revisi. Hal itu tak lepas dari kurangnya komunikasi dari Panja DPR dan Kementerian Hukum dan HAM.

Andai pembahasan kembali dilanjutkan, dia berharap pihak-pihak yang mengkiritik, baik kalangan LSM maupun pers diundang untuk melihat bagaimana proses perdebatan berlangsung.

Muladi menepis anggapan pasal-pasal dalam hasil revisi lebih kolonial dari kolonial. Soal penghinaan kepada Presiden, misalnya, dalam revisi masuk delik aduan. “Jadi enggak ada itu menghidupkan zombie yang sudah dimatikan MK. Sudah diubah menjadi delik aduan kok,” tegas Menteri Kehakiman di era Soeharto dan Menteri Sekretaris Negara di masa BJ Habibie itu.

Bila kasus penghinaan melibatkan pers, penegak hukum pun tidak serta merta dapat mengadili si media atau wartawan. “Harus ada rekomendasi dari Dewan Pers. Jadi pers gak usah takut,” ujar lelaki kelahiran Surakarta, 26 Mei 1943 itu.

Begitu pun soal anggapan ada pasal-pasal yang mengkriminalisasi perempuan, bila dibaca dengan utuh justru dimaksudkan untuk lebih melindungi perempuan. Bukan cuma tubuhnya tapi harkat dan martawabnya dilindungi.

Dalam KUHP hasil revisi, juga diatur soal kejahatan pidana yang melibatkan kroporasi. Juga memperhatikan kondisi penjara di seluruh tanah air yang sudah penuh sesak. Karena itu untuk hukuman di bawah lima tahun, kata Muladi, hakim dapat menawarkan kepada terpidana apakah akan menjalani penjara, kerja sosial, atau membayar denda.

Selengkapnya, saksikan Blak-blakan Ketua Tim Perumus Revisi KUHP, Prof Muladi, “Apa Kita Lebih Cina KUHP Penjajah?” di detik.com, Senin, 23 September 2019. (mb/detik)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *