Kemendagri Setop Cetak e-KTP untuk WNA hingga Pilpres Selesai

Metrobatam, Jakarta – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mewacanakan untuk menyetop pencetakan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) lebih dahulu hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 selesai terselenggara.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan langkah penyetopan ini diambil demi menciptakan situasi yang kondusif jelang Pilpres 2019.

“Oleh karena itu agar semuanya kondusif, ditahanlah sampai 50 hari ke depan. Boleh dicetak pada 18 April,” kata Zudan kepada wartawan di kantornya, Rabu (27/2).

Dia pun melihat pihaknya harus memberikan sosialisasi lagi ke masyarakat bahwa penerbitan e-KTP bagi WNA merupakan hal yang sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Bacaan Lainnya

Hal itu dia katakan terkait polemik penerbitan e-KTP untuk WNA yang menjadi sorotan publik setelah media sosial diramaikan dengan foto e-KTP milik nama Guohui Chen. Gambar itu dikaitkan dengan potensi pelanggaran pemilu.

“Tampaknya banyak masyarakat yang harus kami beri sosialisasi,” ucap Zudan.

Lebih dari itu, Zudan mengatakan pihaknya akan menawarkan KPU untuk membantu menyisir Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 agar insiden salah input data tidak terulang kembali.

Sebelumnya, insiden salah input data dilakukan oleh KPUD Cianjur dengan memasukkan nomor induk kependudukan (NIK) Guohui Chen yang merupakan WNA ke kolom NIK seorang warga negara Indonesia (WNI) bernama Bahar.

“Kami akan bantu KPU, tolong serahkan datanya kepada kami, nanti akan kami sisir data. Kalau ada WNA yang masuk DPT, nanti kami serahkan dengan penuh kerahasiaan ke KPU untuk perbaikan,” ucap dia.

Diusulkan Beda Warna

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengusulkan agar bentuk dan warna e-KTP milik Warga Negara Asing (WNA) dibedakan dengan e-KTP milik Warga Negara Indonesia (WNI). Hal ini menyusul beredarnya e-KTP seorang WNA asal China di Indonesia.

Yasonna mengatakan perbedaan bentuk dan warna e-KTP antara WNA dengan WNI ini bertujuan mencegah kesalahpahaman yang timbul di masyarakat.

“Itu seharusnya ke depan untuk mencegah, kita sarankan ke (ditjen) adminduk supaya warnanya jangan sama untuk orang asing,” ujar Yasonna saat ditemui di kawasan JCC Senayan, Jakarta, Rabu (27/2).

Selain itu, perbedaan ini juga dinilai penting untuk mencegah kesalahan urusan teknis administrasi di Indonesia. Yasonna khawatir jika petugas tak cermat, WNA pemilik e-KTP dapat memperoleh fasilitas yang bukan menjadi haknya.

“Kalau tidak cermat bisa tiba-tiba dapat paspor (Indonesia). Tapi ini disinkronkan lagi dengan sistem di dukcapil. Jadi harus dijaga betul,” ucapnya.

Yasonna mencontohkan pengalaman dirinya saat tinggal di Amerika Serikat beberapa tahun lalu. Saat itu, Yasonna mengaku memiliki kartu identitas semacam e-KTP yang serupa dengan milik warga negara AS. Namun batasan antara kepemilikan e-KTP bagi dirinya dengan warga AS diatur dengan jelas.

“Itu tidak boleh digunakan untuk tujuan yang sama haknya dengan waga negara di sana,” katanya.

Yasonna menjelaskan UU Adminduk sebenarnya telah mengatur bahwa penduduk WNI dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap dan telah berumur 17 tahun atau telah kawin di Indonesia, wajib memiliki e-KTP. Namun ia menegaskan bahwa kepemilikan e-KTP itu tak lantas membuat seorang WNA memiliki hak politik.

“Kan, sudah diklarifikasi bahwa itu tidak boleh memilih. Hanya tanda penduduk. Dalam konstitusi kan juga disebut yang namanya penduduk itu bisa WNI dan WNA,” tutur Yasonna. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait