Kontroversi Gatot dan Langkah Politik Setelah Pensiun

Metrobatam, Jakarta – Gatot Nurmantyo resmi pensiun dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) per 1 April 2018 setelah mengabdi selama 36 tahun di TNI

Melalui keterangan resminya yang dirilis lewat Video, Gatot mengaku ingin membuka lembaran baru setelah pensiun. Kata Gatot, dia ingin mengabdi di bidang lain sebagai bentuk kecintaannya terhadap Indonesia.

“Mulai hari ini saya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai anak bangsa, anggota masyarakat sipil dan warga negara RI lainnya. Termasuk untuk memiliki hak memilih, juga hak dipilih saat pemilu mendatang,” tegasnya.

Gatot tidak merinci bentuk pengabdian yang akan dilakukannya. Namun, sejumlah kalangan menerka Gatot akan maju dalam pertarungan pemilihan presiden 2019 mendatang.

Bacaan Lainnya

Apalagi nama Gatot kerap disebut dalam sejumlah survei yang dilakukan berbagai lembaga survei. Nama Gatot disebut-sebut sebagai calon potensial dalam calon wakil presiden (cawapres).

Setidaknya, ada empat lembaga survei yang memasukkan Gatot dalam bursa cawapres, yakni Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indo Barometer, Poltracking, dan Alvara.

Namun, elektabilitas atau tingkat keterpilihan Gatot berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga itu masih rendah dibandingkan dengan nama-nama potensial lainnya.

Gatot merupakan alumni Akademi Militer 1982. Ia dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Panglima TNI ke-16 pada 8 Juli 2015, menggantikan pendahulunya Jenderal Moeldoko.

Pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah pada 13 Maret 1960 itu merupakan sosok yang tumbuh dan besar di tengah keluarga berlatar belakang militer. Ayah Gatot merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang pernah menjadi tentara pelajar.

Sejumlah jabatan stategis pernah dipangku oleh perwira TNI Angkatan Darat (AD) itu, antara lain Gubernur Akademi Militer pada 2009, Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Brawijaya pada 2010, Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan (Kodiklat) pada 2011, Panglima Komando Cadangan Strategi AD (Pangkostrad) pada 2013, hingga Kepala Staf TNI AD pada 2014.

Selain itu, Gatot juga adalah Ketua Umum Pengurus Besar Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (PB Forki) periode 2014-2018.

Setelah resmi melepaskan tongkat komando atas 4.000 prajurit TNI dan menyerahkannya pada Marsekal Hadi Tjahjanto pada 8 Desember 2017, dukungan agar Gatot terjun ke dunia politik dan maju sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) mulai santer terdengar di berbagai acara yang dihadiri ‘Sang Jenderal’.

Sejumlah partai politik mulai menggoda Gatot, seperti Gerindra dan NasDem. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mempersilakan Gatot untuk masuk ke partainya jika berminat setelah masa pensiun jika berminat, April mendatang.

Prabowo pun terlihat kepincut dengan beragam prestasi yang ditorehkan Gatot selama 2 tahun 5 bulan menjabat Panglima TNI.

“Saya kira tokoh seperti itu kami akan persilakan, kalau beliau berminat ya gimana. Tentunya terima kasih, tapi kita tak mau membebani beliau,” kata Prabowo di Hambalang, Jawa Barat pada 9 Desember 2017.

Pun anggota Dewan Pakar NasDem, Taufiqulhadi yang mengatakan bahwa pihaknya tengah mempertimbangkan Gatot untuk menjadi calon pendamping Jokowi di Pilpres 2019 mendatang. Menurutnya, elektabilitas Gatot menjadi salah satu alasan yang bersangkutan diperhitungkan oleh NasDem.

“Kami sedang menggodok wakil presiden, ada sejumlah nama. Ya kami mempertimbangkan selain Jusuf Kalla, kami mempertimbangkan Gatot dan Sofian Djalil. Jadi semua nama itu mungkin ditambah nama lain sorotan partai NasDem,” katanya di Komplek Parlemen, 5 Desember 2017.

Kontroversi Sang Jenderal

Gatot terkenal sebagai sosok yang kerap menyampaikan pernyataan-pernyataan bersifat kontroversial selama menjabat sebagai Panglima TNI. Dalam catatan CNNIndonesia.com, setidaknya ada enam pernyataan Gatot yang sempat menjadi kontroversi dan mendapatkan perhatian tajam publik.

Pertama, Gatot mengkritik Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 28 Tahun 2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara karena telah menghapus kewenangan Panglima TNI untuk memantau alur perencanaan pembelanjaan alutsista di masing-masing matra.

“Begitu muncul Permenhan Nomor 28/2015, kewenangan saya tidak ada, harusnya ini ada. Sekarang tidak ada. Kewajiban TNI membuat perencanaan jangka panjang, menengah, pendek,” kata Gatot di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Februari 2017.

Kedua, Gatot menyebut tuduhan bahwa unjuk rasa bertajuk ‘Aksi Bela Islam’ yang digelar oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan di penghujung 2016 silam telah didompleng sejumlah kalangan untuk melakukan makar sebagai kabar bohong alias hoaks. Pernyataan itu disampaikan Gatot saat menghadiri acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi swasta pada 4 Mei 2017.

Menurutnya, umat Islam tidak mungkin melakukan makar dan kabar itu disebarkan hanya untuk menyebar ketakutan di tengah masyarakat saja.

“Sejak perjuangan merebut kemerdekaan yang mayoritas adalah umat Islam, kemudian mempertahankan kemerdekaan (juga) umat Islam, kemudian umat Islam akan merusak negara ini? tidak mungkin. Buktinya Aksi 411, 212, aman, damai, dan tertib,” ucap Gatot.

“Ini berita hoaks saja yang menyampaikan seperti itu sehingga menakuti kita,” imbuhnya.

Ketiga, Gatot membacakan puisi berjudul ‘ Tapi Bukan Kami yang Punya’ karya seorang konsultan politik Denny Januar Ali saat menghadiri Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar di Balikpapan, Kalimantan Timur pada 22 Mei 2017.

Kontroversi terjadi setelah sejumlah kalangan menilai kritik yang dilayangkan Gatot tersebut ‘salah alamat’, karena pemerintahan Jokowi telah berupaya untuk membawa Indonesia menjadi negara yang mandiri atau ‘berdiri di atas kaki sendiri’ (berdikari).

Namun, Gatot mengatakan puisi itu hanya sebagai gambaran bahaya arus migrasi dewasa ini yang deras dan tak mengenal batas wilayah, akibat persaingan antarmanusia yang semakin ketat.

“Saya ingatkan bahwa sekarang ini yang paling berbahaya antara lain adalah migrasi. Itu bukan pengungsian, mereka yang dikatakan ini adalah kompetisi antar negara, sekarang sudah meningkat menjadi antar manusia,” kata Gatot.

Keempat, Gatot mendukung pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ia pun menyindir, Indonesia akan menjadi bangsa bodoh bila terus menggunakan regulasi seperti yang berlaku hingga saat ini.

“RUU ada perumusnya, saya adalah TNI jadi hukum adalah panglimanya.(Keterlibatan TNI) saya tidak mau berandai-andai, hukumnya belum ada, belum jelas kok. Tapi saya katakan alangkah bodohnya bangsa ini kalau masih menggunakan UU yang ada sekarang,” kata Gatot di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, 1 Juni 2017 silam.

Pernyataan Gatot itu pun menuai kontroversi. Sejumlah kalangan menilai, UU Terorisme yang berlaku saat ini telah berhasil mengungkap berbagai kasus teror di Indonesia, walau masih banyak kekurangan dan perlu direvisi.

Kelima, Gatot menginstruksikan jajaran TNI untuk mengadakan nonton bersama film ‘Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI’. Dalam surat telegram yang kemudian bocor ke publik, Gatot menilai generasi millenial perlu tahu mengenai bahaya Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Iya itu memang perintah saya (anggota nonton film ‘Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI’), mau apa? Yang bisa melarang saya hanya pemerintah,” katanya saat ditemui seusai ziarah di Makam Bung Karno (MBK), Bendogerit, Blitar, 18 September 2017).

Keenam, Gatot menyatakan ada institusi non militer yang mencatut nama Presiden Jokowi untuk membeli 5.000 pucuk senjata secara ilegal. Pernyataan itu disampaikan Gatot saat berbicara dalam pertemuan dengan sejumlah purnawirawan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, 22 September 2017 lalu.

“Ada kelompok institusi yang akan membeli 5.000 pucuk senjata,” kata Gatot.

“Memakai nama presiden. Seolah-olah dari presiden yang berbuat, padahal saya yakin itu bukan presiden. Informasi yang saya dapat kalau tidak A1 tidak akan saya sampaikan di sini,” lanjutnya.

Bahkan, Gatot juga mengingatkan Polri agar tidak memiliki senjata berkaliber besar. Jenderal bintang empat itu mengancam akan menyerbu Polri bila memilik senjata tersebut.

“Dan polisi pun tidak boleh memiliki senjata yang bisa menembak tank, menembak pesawat, menambak kapal, saya serbu kalau ada,” katanya.

Relawan Pendukung Gatot

Dukungan terhadap Gatot untuk maju di Pilpres 2019 ternyata mendapat sambutan positif dari sejumlah kalangan masyarakat.

Salah satu kelompok relawan yang terbentuk untuk menggalang kekuatan memenangkan Gatot kelak adalah Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN). Kelompok ini terbentuk pada 1 Januari 2018 silam.

Ketua Umum RSPN, Rama Yumatha, mengatakan relawan ini berisi mereka yang memiliki kekaguman pada Gatot.

Meski terbilang baru, Rama mengatakan RSPN sudah mulai bergerak meski tidak gembar-gembor. Alasannya, saat ini Gatot masih aktif di dinas kemiliteran yang menuntutnya tak boleh berpolitik.

Setelah Gatot menjadi purnawirawan, Rama menyatakan kerja relawan bisa lebih masif ketimbang sekarang.

“Tentu kamu harus menghormati Pak Gatot yang saat ini masih berstatus sebagai tentara aktif,” ujar Rama kepada CNNIndonesia.com beberapa pekan lalu di Jakarta.

RSPN juga sudah menggadang-gadang cawapres untuk Gatot jika nanti jadi maju sebagai capres. Sumiarsi menyebut nama Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang sebagai cawapres untuk Gatot.

Namun, keinginan RSPN untuk mengusung Gatot belum terjawab karena Gatot hingga kini belum resmi mendeklarasikan diri untuk maju di Pilpres 2019. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait