KPK Dorong KPU Revisi Aturan Calon Kepala Daerah Tersangka

Metrobatam, Jakarta – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) merevisi peraturan KPU (PKPU) terkait penggantian calon kepala daerah yang menjadi tersangka.

Dalam aturan saat ini calon kepala daerah menjadi tersangka atau ditahan penegak hukum tidak dapat diganti.

Menurut Saut, revisi terhadap PKPU nantinya harus didasari oleh teori selain ilmu hukum. Sebab, aturan itu bakal mempengaruhi pembangunan hukum, politik, dan demokrasi.

“Betul sebelum inkrah kita tidak bisa mengatakan seseorang bersalah, itu sebabnya perlunya menggunakan teori lain tentang kebijakan publik atau di luar teori penegakan hukum semata,” tulis Saut melalui pesan pendek, Senin (4/2).

Bacaan Lainnya

Terkait usulan itu, Saut menyebut KPK tidak harus bertemu dengan KPU buat membahas tentang revisi aturan ini. Sebab dia yakin KPU lebih paham soal tindakan apa yang harus diambil.

“Tapi KPK berada pada semangat yang sama dalam hal pelaksanaan pilkada dan pemilu yang berintegritas,” kata Saut.

PKPU merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan calon kepala daerah menjadi tersangka atau telah ditahan penegak hukum tidak dapat diganti. Penggantian calon kepala daerah hanya dapat dilakukan jika yang bersangkutan sakit parah, meninggal dunia, atau telah dijatuhi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Di tempat terpisah Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak dapat merevisi Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur mekanisme pergantian calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2018. Sebab, KPU tidak boleh merevisi aturan main di tengah rangkaian pelaksanaan Pilkada.

Menurutnya, KPU harus tetap mengacu pada peraturan yang ada, yakni PKPU yang dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Hal serupa juga berlaku untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Saya kira itu satu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh KPU atau Bawaslu (mengubah PKPU),” katanya dia, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (2/4).

Selain itu, lanjut Amali, pihaknya tidak berencana merevisi UU tentang Pilkada demi mengakomodasi pergantian calon kepala daerah yang terjerat korupsi. “Saya kira sudah enggak, karena tahapan sudah jalan. Apalagi Pilkada semua sudah jalan,” ucap dia.

Menurut Amali, Pilkada serentak 2018 akan tetap dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan dalam UU tersebut.

Sebabnya, Pemerintah juga tidak ingin menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) soal pergantian calon kepala daerah.

“Kita tetap untuk Pilkada, patokannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 dan untuk Pileg dan Pilpres Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 [tentang Pemilu],” jelas dia.

Sebelumnya, Menteri Dalam Degeri Tjahjo Kumolo mendorong KPU untuk mengubah PKPU terkait pergantian calon kepala daerah yang terjerat korupsi ketimbang menerbitkan Perppu. “Kemendagri prinsipnya mendukung langkah KPU untuk mengeluarkan PKPU,” ucap Tjahjo, Senin (26/3).

Menurutnya, penerbitan PKPU baru lebih rasional daripada penerbitan Perppu untuk mengatasi masalah maraknya calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penegak hukum.

KPU sendiri bakal mengganti PKPU tentang mekanime pergantian calon kepala daerah yang ditetapkan sebagi tersangka jika pemerintah menerbitkan Perppu. “Kami kan selalu berpegang pada aspek legal. Kalau ada perppu, dimungkinkan kita melakukan revisi (PKPU),” ujar Komisioner KPU Viryan di kantornya, Jakarta, Rabu (28/3).

Sejauh ini, sedikitnya telah ada lima calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mereka adalah Cagub Kalimantan Timur Rita Widyasari, Cagub Nusa Tenggara Timur Marianus Sae, Cagub Lampung Mustafa, Cabup Subang petahana Imas Aryuminingsih, serta Cabup Jombang petahana Nyono Suharli Wihandoko.

Merujuk dari UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan PKPU tentang pencalonan, calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka di tengah pelaksanaan pilkada tidak dapat mengundurkan diri. Partai politik pengusung pun tidak diperkenankan menarik dukungan kepada calon yang diusungnya.

Pergantian hanya dapat dilakukan jika terjadi tiga hal, yakni telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sakit parah sehingga tidak dapat beraktivitas, dan meninggal dunia. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait