‘Kriminalisasi’ ala Setnov di Tengah Pusaran Korupsi E-KTP, Polisikan 2 Pimpinan KPK

Metrobatam, Jakarta – Unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi kembali tersangkut hukum setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto melaporkan Agus Rahardjo dan Saut Situmorang ke Badan Reserse Kriminal Polri, dalam kasus yang membuat lembaga antirasuah lagi-lagi lekat dengan istilah “kriminalisasi.”

Melalui salah satu anggota tim kuasa hukumnya, Setnov__begitu Setya disapa__melaporkan dua pimpinan KPK itu ke Bareskrim atas tudingan pemalsuan surat.

Yang disoal adalah surat permohonan pencegahan bepergian ke luar negeri, dikirim ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM pada 2 Oktober 2017. Bareskrim telah meningkatkan proses hukum dugaan pemalsuan surat tersebut ke tahap penyidikan.

Langkah Setnov melaporkan dua pimpinan KPK yang tengah mengusutnya dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP pun kontan dianggap sebagai bentuk kriminalisasi. Lelaki yang sempat batal ditetapkan tersangka ini pun dilaporkan telah kembali dijerat oleh para penyidik, meski belum dikonfirmasi resmi.

Bacaan Lainnya

“Betul (sebagai bentuk kriminalisasi). Jelas dalam KUHP, orang yang sedang menjalankan tugas berdasarkan undang-undang, maka tidak bisa dipidana. Contoh penembak eksekusi mati,” kata Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Rabu (8/11).

Boyamin menjelaskan, merujuk Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pidana tidak bisa dikenakan kepada penegak hukum yang menjalankan tugas berdasarkan undang-undang. Agus dan Saut menjalankan tugasnya berdasarkan UU Nomor 30/2002 tentang KPK.

Lihat juga: KPK Berharap Polri Tak Tetapkan Pimpinannya Jadi Tersangka

Pasal 50 KUHP berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak dipidana.”

Selain Pasal 50, Boyamin juga merujuk kepada Pasal 51 (1) KUHP yang menyebutkan “tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut.”

Menurut Boyamin, upaya Setnov melakukan kriminalisasi kepada pimpinan KPK tampak terstruktur, sistemik, dan masif.

Sementara itu, tindakan Bareskrim meningkatkan laporan kuasa hukum Setnov juga dinilai patut dipertanyakan. Menurut Boyamin, kepolisian seharusnya tak terburu-buru menerbitkan SPDP, atau lebih baik lagi tak menggubris laporan tersebut.

Boyamin mengatakan kepolisian semestinya melihat kewenangan yang dimiliki KPK dan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang kini sedang dilakukan lembaga tersebut. Dia menyebut, tindakan Bareskrim akan dinilai negatif oleh masyarakat.

“Polisi mestinya melihat kebutuhan yang lebih besar pemberantasan korupsi daripada sekedar melayani kepentingan SN (Setya Novanto) yang mestinya ditunda,” tuturnya.

Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya telah menerima SPDP terkait laporan dugaan pemalsuan surat yang dilakukan dua pimpinannya. Dalam surat itu, Agus dan Saut tertulis sebagai terlapor.

Dia mengaku belum mengetahui secara pasti dugaan pemalsuan surat yang dimaksud pelapor, Sandy Kurniawan, pengacara dari kantor hukum Yunadi & Associates.

Febri tak mau bicara lebih jauh terkait sosok kuasa hukum Setnov itu. dan tak bisa menilai apakah tindakannya merupakan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.

“Kita belum bisa menyimpulkan sejauh itu (kriminalisasi pimpinan KPK). Tapi kalau itu menjadi diskusi di publik, tentu itu patut dicermati lebih lanjut,” kata Febri di Gedung KPK, Jakarta.

Kuasa Hukum Bantah Kriminalisasi

Ketua tim kuasa hukum Setnov, Fredrich Yunadi, menyatakan tindakan melaporkan pimpinan KPK tersebut dilakukan atas pertimbangannya. Dia pun memerintahkan anak buahnya untuk membuat laporan ke Bareskrim Polri.

“Yang diberikan kuasa oleh Pak Setnov 15 orang, yang mimpin saya. Di antaranya saya minta yang lapor, ini kantor hukum bukan individu,” kata dia kepada CNNIndonesia.com, saat dikonfirmasi terpisah.

Fredrich membantah pelaporan Agus dan Saut ke Bareskrim merupakani tindakan kriminalisasi pimpinan lembaga antirasuah, yang tengah menjalankan tugas. Justru, kata dia, KPK yang telah melakukan kriminalisasi dalam setiap penanganan kasus.

“Fakta proses hukum, justru KPK yang jagonya kriminalisasi kasus,” tuturnya.

Nama Setnov mencuat dalam dakwaan mantan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto serta pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Setnov disebut terlibat dalam korupsi proyek e-KTP, yang ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.

Mantan Ketua Fraksi Golkar itu, saat proyek e-KTP bergulir, juga disebut mendapat jatah sebesar Rp574,2 miliar bersama Andi Narogong dari proyek senilai Rp5,9 triliun. Namun, hal tersebut telah dibantah Setnov dalam sejumlah kesempatan.

KPK telah menetapkan tersangka baru dalam kasus yang lebih dulu menjerat lima orang tersebut. Namun, identitas tersangka baru belum diumumkan secara resmi.

Komisi baru sebatas membenarkan telah mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik), sekaligus menetapkan seorang tersangka baru pada akhir Oktober 2017 lalu.

Sprindik baru tersebut tercantum sebagai dasar dalam SPDP tertanggal 3 November 2017 yang beredar di kalangan wartawan sejak Senin (6/11).

Dalam surat tersebut tertulis nama Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Penetapan tersangka tersebut berdasarkan sprindik Nomor: Sprin.Dik-113/01/10/2017 tanggal 31 Oktober 2017. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait