Kuota SNMPTN 2019 Turun Jadi Minimal 20%

Metrobatam, Jakarta – Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) memaparkan beberapa pembaruan dalam sistem penerimaan mahasiswa baru tahun 2019 mendatang. Salah satunya adalah penurunan kuota penerimaan mahasiswa melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

“Penerimaan mahasiswa baru itu tetap melalui 3 jalur, SNMPTN, SBMPTN, dan Mandiri. Di mana proporsi yang kita tetapkan adalah untuk SNMPTN adalah minimal 20 persen dan yang melalui SBMPTN minimal 40 persen dan untuk Mandiri maksimum adalah 30 persen. Kalau kita bandingkan tahun lalu poinnya adalah untuk SNMPTN ada pergeseran yaitu dari 30 (persen) turun menjadi 20 (persen),” kata Menristekdikti M Nasir di kantornya, Senayan, Jakarta, Senin (22/10).

Menurut Nasir, penurunan kuota SNMPTN ini karena Kemenristekdikti menemukan inkonsistensi antara nilai rapor siswa di sekolah dengan prestasinya di perguruan tinggi. Menurutnya, tidak ada korelasi positif yang lebih baik dari jalur SNMPTN dibandingkan SBMPTN sehingga diputuskan adanya penurunan kuota menjadi hanya 20 persen saja.

“Pada hasil analisis yang sudah dilakukan oleh tim kami, melihat korelasi antara siswa yang SNMPTN dengan prestasi selama di perguruan tinggi, itu ternyata yang bisa betul-betul dipertanggungjawabkan itu sebenarnya mendekati 20 persen itu,” jelas Sekretaris Panitia Pusat Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (Panpus SN PMB) Joni Hermana di lokasi yang sama.

Bacaan Lainnya

“Itu sebabnya 20 persen ini digunakan sebagai dasar untuk merekrut jalur SNMPTN,” imbuhnya.

Joni menjelaskan penelusuran sebelumnya dilakukan dengan cara mengambil sample mahasiswa yang diterima melalui jalur SNMPTN dan melihat IPK mahasiswa tersebut pada tahun pertama. Hasilnya didapat bahwa yang betul-betul bisa dipertanggungjawabkan prestasi akademiknya hanya sejumlah 20 persen saja. Namun Joni menegaskan persentase itu bisa berubah sesuai dengan kebijakan rektor masing-masing kampus.

“Yang mendaftar SNMPTN kita ambil sampelnya kemudian kita ambil lihat IPK-nya di satu tahun pertama dia di perguruan tinggi, itu kita korelasikan antara hasil di perguruan tinggi pada satu tahun pertama dengan nilai dia rapor. Ternyata ada sekolah-sekolah tertentu yang tidak nyambung. Korelasinya tidak positif. Sehingga kita cari mana nilai yang betul-betul bisa dipertanggungjawabkan bahwa nilai tersebut betul-betul mewakili dari sekolah tersebut” jelas Joni.

“Jadi 20 persen terbaik dari sekolah itu adalah mereka yang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu kita tentukan lagi 20 persen sebagai batas minimalnya. Bisa lebih kalau misal rektor mau menerima nggak apa-apa,” imbuhnya. (mb/detik)

Pos terkait