Luhut Sebut Penyindir Menteri Utang, Neneknya Menteri Utang

Metrobatam, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menegaskan utang yang dihimpun pemerintah pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo produktif bukan konsumtif. Utang digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

“Jadi kalau ada orang yang bilang ‘Menteri Utang’, neneknya (yang) menteri utang,” ujar Luhut saat menghadiri DBS Asian Insight Conference 2019 di Hotel Mulia, Kamis (31/1).

Luhut tidak menyebut siapa yang ia maksud tersebut. Cuma, sebelum Luhut mengeluarkan pernyataan tersebut, Calon Presiden Prabowo Subianto mengkritik kebijakan utang yang ditempuh oleh pemerintahan Presiden Jokowi.

Dalam kritikan tersebut, ia sempat mengatakan menteri keuangan lebih pantas disebut sebagai menteri pencetak utang. Olok-olok ia berikan terkait utang pemerintah yang terus menumpuk.

Bacaan Lainnya

Data Kementerian Keuangan memang menunjukkan sampai dengan akhir tahun lalu, utang pemerintah mencapai Rp4.418,3 triliun. Utang tersebut naik Rp423 triliun jika dibandingkan dengan akhir 2017 yang hanya Rp3.995,25 triliun.

“Kalau menurut saya, jangan disebut lagi lah ada menteri keuangan. Mungkin menteri pencetak utang,” kata Prabowo saat menyampaikan pidato di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Sabtu (26/1) lalu.

Ucapan Prabowo tersebut memicu reaksi dari pegawai Kementerian Keuangan. Mereka mengaku kecewa dengan pernyataan Prabowo tersebut.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan pemberian label menteri pencetak utang tersebut telah mencederai perasaan pegawai Kementerian Keuangan.

Ia mengatakan Kementerian Keuangan adalah sebuah institusi negara yang penamaan, tugas dan fungsinya sudah diatur oleh undang-undang. Oleh karena itulah kata Nufransa, tidak sepantasnya orang, termasuk juga Prabowo mengolok-olok nama dan pekerjaan Kementerian Keuangan.

Nufransa mengatakan masalah utang yang disinggung oleh Prabowo sudah diatur mekanisme oleh undang-undang. Utang tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan DPR.

Persetujuan utang juga dituangkan dalam APBN dalam bentuk undang-undang. “Uu juga merupakan produk bersama antara pemerintah dan semua partai di DPR,” katanya.

Lazim Dilakukan

Luhut mengungkapkan ia memiliki latar belakang pengusaha dan pedagang. Latar belakang tersebut ia klaim telah memberikan pemahaman kepadanya soal penggunaan utang.

Dalam bisnis, utang untuk membiayai kegiatan lazim dilakukan selama penggunaan utang tersebut bisa menimbulkan manfaat ke depan yang lebih besar dan perusahaan memiliki kemampuan untuk membayar.

“Sampai sekarang belum ada perusahaan saya yang bangkrut,” ujarnya.

Infrastruktur, lanjut Luhut, diperlukan untuk menekan biaya logistik dan transportasi di Indonesia. Dengan infrasktruktur yang memadai, investor juga lebih mudah masuk menanamkan modalnya ke Indonesia.

Sementara, pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya besar, selama 2014-2019, kebutuhan pembangunan infrastruktur berkisar Rp5.000 triliun yang berasal dari APBN, BUMN, dan swasta.Sebagai informasi, hingga akhir tahun lalu, Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah pusat mencapai Rp4.418,3 triliun dengan rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) berkisar 29,9 persen.

Rasio itu meningkat dari 2017 di mana utang tercatat Rp3.938 triliun dengan rasio 29,2 persen. Tahun ini, pemerintah menargetkan rasio utang akan naik ke kisaran 30,4 persen terhadap PDB. (mb/detik)

Pos terkait