MA Perintahkan Negara Setop Swastanisasi Air

Metrobatam, Jakarta – Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga negara untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta. Putusan MA yang ditetapkan pada Selasa (10/10) memerintahkan Pemprov DKI Jakarta memutuskan hubungan kontrak pengelolaan air oleh pihak swasta, yaitu PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).

“Mengabulkan permohonan kasasi dari 12 orang pemohon. Menyatakan para tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta,” bunyi putusan MA nomor 31 K/Pdt/2017 perkara perdata dalam tingkat kasasi.

Para tergugat dalam hal ini adalah presiden, wakil presiden, menteri keuangan, menteri pekerjaan umum, DPRD DKI Jakarta, PAM Jaya, serta Palyja dan Aetra. Pemerintah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air di Jakarta kepada pihak swasta.

Pengelolaan oleh pihak swasta ini terwujud dalam pembuatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) pada 6 Juni 1997 yang diperbarui dengan PKS tertanggal 22 Oktober 2001. Perjanjian ini yang kemudian berlaku di Jakarta dan dijalankan hingga kini.

Bacaan Lainnya

Putusan MA ini sekaligus membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 588/PDT/2015/PT DKI tanggal 12 Januari 2016 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/PDT.G/2012/PNJKT.PST., tanggal 24 Maret 2015.

Gugatan ini awalnya dilayangkan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) pada 2013. Namun permohonan kasasi kemudian diwakili 12 orang penggugat, salah satunya yaitu Beka Ulung Hapsara selaku anggota pendiri Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha).

Koordinator Kruha Muhammad Reza mengatakan, putusan MA bukan hanya menunjukkan kemenangan warga Jakarta, tapi juga masyarakat dunia. Dia mengaku mendapat banyak ucapan selamat atas putusan MA dari para pegiat air di beberapa negara.

“Ini kado luar biasa bagi gerakan warga negara. Kasus Jakarta ini juga spesial karena berbentuk gugatan warga negara, kami harus menempuhnya lewat peradilan sistem perdata dengan proses yang panjang,” kata Reza kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/10).

Reza mengatakan, kasus pengelolaan air di Jakarta oleh pihak swasta adalah salah satu skandal paling besar di dunia dari sisi nilai ekonomi dan cakupannya. Putusan yang dianggap sudah final ini menjadi contoh bahwa kegagalan swasta dalam mengelola layanan air harus segera diambil alih negara.

“Ini jadi preseden sejarah dalam kritik terhadap layanan publik yang diserahkan pengelolaannya kepada swasta ternyata gagal dan (swastanisasi) bukan tren lagi,” ujarnya.

Sejak dekade 1980, tren yang berkembang adalah privatisasi di sektor publik, termasuk layanan air. Saat ini menurut Reza, tren Indonesia berada pada fase deprivatisasi, di mana negara harus menunjukkan tanggung jawabnya dalam mengelola layanan publik.

Menunggu Ketegasan Politik

Perjuangan warga negara di jalur hukum selama bertahun-tahun tinggal menunggu ketegasan politik pemerintah untuk mengambil alih layanan pengelolaan air dari pihak swasta. Sikap gubernur DKI Jakarta yang baru terpilih diharapkan bisa tegas menghentikan swastanisasi air.

“Masalah kita adalah ketegasan politik. Privatisasi itu adalah kebijakan politik. Bukti, fakta, dan kerugian sudah ada, tapi pemerintah tidak juga berani mengambil alih (pengelolaan air dari pihak swasta),” ujar Reza.

Dia berpendapat, ada tiga hal utama yang diperlukan agar pengelolaan air makin baik dan hak atas air bagi warga negara bisa terpenuhi. Pertama, peran maksimal negara dalam mengelola layanan air untuk warganya.

Kedua, ekosistem yang lestari. Menurut Reza, layanan air di Jakarta mustahil bisa diperbaiki jika badan airnya dibetonisasi, proyek reklamasi masih berjalan, ruang terbuka hijau terus tergerus oleh apartemen, mal, dan penggunaan air untuk komersial tidak terkontrol.

Ketiga, peran warga negara secara aktif mulai dari perencanaan hingga operasional. Perwakilan warga dalam hal ini bukan partisipasi yang sekadar basa-basi.

“Harus ada Dewan Air Jakarta, tidak usah menunggu inkrach, sudah cukup fakta hukum dan politiknya bagi otoritas publik baik pusat maupun daerah untuk mengambil alih layanan, memperbaiki PAM Jaya,” katanya. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait