Mantan Hakim Agung: Praperadilan Kini Dimanfaatkan untuk Hindari Status Tersangka

Metrobatam, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan mantan hakim Agung sekaligus Guru besar emiritius Universitas Padjadjaran (Unpad) Komariah Emong sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan Praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP.

Komariah menyoroti fenomena praperadilan yang kerap bermunculan belakangan ini. Ia menilai praperadilan dimanfaatkan oleh seseorang hanya untuk lolos dari penetapan tersangka, berbeda dengan spirit lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

“KUHAP berbeda suasana dengan sekarang. Dahulu, saya alami sendiri 1981 praperadilan jarang, sekarang digunakan alat untuk apapun agar tersangka terhindar dari penetapan itu. Dengan cara apapun, sekarang hampir semua perkara praperadilan dulu,” kata Komariah di Jakarta Selatan, Selasa (12/12).

Praperadilan itu banyak diminati tidak lepas dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 102/PUU-XIII/2015, yang menjelaskan batas waktu perkara praperadilan dinyatakan gugur saat telah digelar sidang pertama terhadap perkara pokok atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.

Bacaan Lainnya

Komariah menyayangkan putusan MK tersebut karena dinilai memperbesar kesempatan kepada seorang tersangka yang sedang berjuang di praperadilan. Padahal berdasarkan pasal 82 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, harusnya dilakukan lembaga legislatif bukan MK.

“MK bukan lembaga legislatif yang boleh mengubah undang-undang atau bentuk norma baru, yang menetapkan sepanjang mengenai tersangka. Praperadilan sudah menerima dan beberapa penetapan tersangka menjadi objek praperadilan, apa boleh buat karena sudah menjadi yurisprudensi,” pungkasnya.

Praperadilan Gugurnya Kapan?

Hakim tunggal Kusno menanyakan perihal kapan gugurnya suatu praperadilan pada ahli yang dihadirkan KPK, Prof Komariah Emong Sapardjaja. Tentang gugurnya praperadilan memang menjadi hal krusial mengingat jadwal sidang Setya Novanto telah ditentukan.

“Bagaimana pendapat ahli soal Pasal 82 ayat 1 dihubungkan Putusan MK nomor 102? Kapan gugurnya praperadilan?” tanya Kusno dalam sidang praperadilan Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Selasa (12/12).

Prof Komariah yang merupakan mantan hakim agung itu pun mengatakan bila pertanyaan Kusno itu sudah dijelaskan sebelumnya. “Yang mulia, tadi saya sudah menjawab,” kata Komariah.

Kusno pun merinci pertanyaannya yaitu terkait frasa ‘mulai diperiksa’ dalam Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP. Komariah menjelaskan bila frasa itu berarti ketika surat dakwaan dibacakan, bukan ketika sidang perdana dibuka.

“Menurut pendapat saya kalau biasanya sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum pada waktu belum ada pemeriksaan. Pemeriksaan itu ketika dakwaan dibacakan. Pemeriksaan itu ketika dakwaan dibacakan bukan hanya dibuka saja. Karena pemeriksaan itu belum dimulai,” jelas Komariah.

Berikut bunyi Pasal 82 ayat 1 huruf d dalam KUHAP:

Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur

Seperti diketahui, sidang perkara pokok Novanto akan digelar pada Rabu, 13 Desember besok. Sedangkan, hakim Kusno telah merencanakan pembacaan putusan praperadilan akan dibacakan pada Kamis, 14 Desember 2017.

Penetapan Tersangka Kedua Setnov Sah

Komariah juga mengatakan, penetapan kedua kalinya terhadap Setya Novanto sah. Pendapat ini berserangan dengan dalil tim kuasa hukum Setnov yang menyebut kliennya tidak dapat dituntut kembali karena sudah diputus hakim alias ne bis in idem.

Menurut Komariah, asas ne bis in idem hanya berlaku saat masuk pada pokok perkara sementara kasus tersangka pertama Setya Novanto, yang kemudian digugurkan praperadilan belum pada tuntutan. Sidang praperadilan itu tidak sampai pada mengulas pokok perkara, melain proses penyelidikan.

“Praperadilan itu sudah disebutkan tidak berbicara mengenai pokok perkara, hanya segi formal hukum acara, jadi tidak ne bis in idem,” kata Komariah saat memberikan keterangan dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan, Selasa (12/12).

Dengan demikian, mantan hakim Agung itu kembali menegaskan, penetapan status tersangka yang kedua kalinya untuk Setya Novanto tidak cacat hukum alias sah menurut hukum yang berlaku.

“Boleh penetapan tersangka yang baru dengan syarat-syarat tertentu,” imbuh Komariah.

Selanjutnya, tim kuasa hukum Setya Novanto mempermasalahkan surat perintah penyidikan (sprindik) penetapan tersangka yang pertama. Menurut mereka, sprindik itu telah dibatalkan praperadilan jilid pertama sehingga ketika KPK mengeluarkan sprindik kedua maka tidak bisa dijadikan dasar.

Menjawab pertanyaan itu, Komariah menegaskan, ketika KPK mengeluarkan sprindik kedua maka otomatis sprindik pertama tidak berlaku, sebagaimana diatur oleh putusan Mahkamah Agung (MA).

“Dengan sendirinya ketika dikeluarkan surat penetapan tersangka yang kedua, dengan sendirinya yang pertama tidak berlaku, tapi tidak menyatakan sprindik yang kedua batal,” pungkasnya.

Di sidang praperadilan sebelumnya, Senin 11 Desember 2017, Setya Novanto menghadirkan tiga saksi ahli, salah satunya ahlim hukum pidana, Dr. Mudzakir, SH.MH. Dosen Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu mengatakan, bahwa sidang praperadilan dan sidang dakwaan merupakan dua hal yang berbeda. Praperadilan menguji proses penyidikan sudah sesuai KUHAP atau belum, sedangkan sidang dakwaan menguji pokok perkara.

Mudzakir menilai seharusnya sidang praperadilan harus diutamakan dibandingkan sidang dakwaan. Dia juga menyorot KPK yang tidak hadir di sidang perdana praperadilan Setya Novanto pada Kamis 30 November 2017. (mb/okezone)

Pos terkait